SURAU.CO – Maulid Nabi ﷺ, peringatan hari kelahiran Rasulullah yang penuh dengan keberkahan, kini telah menjadi tradisi yang mengakar di berbagai belahan dunia Islam. Meski ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, tak bisa dipungkiri bahwa perayaan Maulid Nabi menjadi sarana umat untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah ﷺ. Namun, pernahkah kita bertanya: siapakah tokoh pertama yang menggagas perayaan Maulid Nabi dalam bentuk resmi dan besar-besaran?
Sejarah mencatat bahwa orang itu adalah Sultan Al-Mudzaffar Abu Said Kuukuburi, seorang penguasa Islam di Kota Irbil (Erbil) pada awal abad ke-7 Hijriah. Ia dikenal bukan hanya sebagai penguasa yang kuat, tetapi juga sebagai pecinta Rasulullah ﷺ yang menghidupkan tradisi mulia ini.
Latar Belakang Sultan Al-Mudzaffar
Sultan Al-Mudzaffar Abu Said Kuukuburi memiliki nama lengkap Al-Malik Al-Mudzaffar Abu Sa’id Muzaffaruddin Gökböri bin Zainuddin ‘Ali. Nama “Kuukuburi” atau “Gökböri” dalam bahasa Turki berarti serigala biru. Ia lahir di kawasan Turkoman dan kemudian menjadi penguasa Erbil, sebuah kota yang kini masuk wilayah Irak.
Ia hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah, sezaman dengan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan besar yang membebaskan Baitul Maqdis dari tentara Salib. Apalagi Kuukuburi adalah ipar Shalahuddin, karena ia menikah dengan saudara Shalahuddin. Hubungan keluarga ini membuatnya dekat dengan pusat kekuasaan Dinasti Ayyubiyah dan ikut berperan dalam peperangan melawan tentara Salib.
Peran Politik dan Kepemimpinan
Sebagai penguasa Irbil, Sultan Al-Mudzaffar dikenal bijaksana dan tegas. Ia mendukung perjuangan Shalahuddin dalam mengusir tentara Salib dan menegakkan Islam di Syam serta Irak. Ia juga memakmurkan negerinya dengan pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas sosial.
Namun, yang membuat namanya tercatat dalam sejarah Islam bukan hanya kiprahnya di medan perang atau pemerintahannya, melainkan gagasannya untuk menjadikan Maulid Nabi sebagai perayaan resmi.
Awal Mula Perayaan Maulid Nabi
Sebelum masa Sultan Al-Mudzaffar, sebagian kaum Muslim sudah memperingati kelahiran Nabi ﷺ secara sederhana, biasanya dalam bentuk pembacaan syair pujian, dzikir, atau doa. Namun, belum ada perayaan besar yang diselenggarakan oleh negara.
Sultan Al-Mudzaffar kemudian menggagas peringatan Maulid Nabi secara resmi di Irbil. Ia menyelenggarakan perayaan akbar setiap bulan Rabi’ul Awwal. Pada acara itu, ia mengundang para ulama, fuqaha, ahli hadis, sufi, dan masyarakat umum. Perayaan berlangsung meriah, diisi dengan pembacaan Al-Qur’an, kisah sirah Nabi, ceramah, pembacaan qasidah, dan doa bersama.
Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan:
“Sultan Muzhaffar bin Zainuddin adalah seorang raja yang mulia, agung, pemerintahan, cerdas, dan adil. Ia adalah salah satu di antara orang yang baik dan mulia. Ia merayakan maulid yang mulia pada bulan Rabi’ul Awwal dengan perayaan yang agung.”
Perayaan Maulid di Irbil bahkan disebut-sebut sebagai yang paling megah di masanya. Rakyat dari berbagai penjuru berkumpul, dan Sultan menyiapkan hidangan besar untuk mereka.
Kemegahan Maulid di Irbil
Sejarawan besar, Ibnu Khallikan, yang juga hidup di masa itu, memberikan kesaksian langsung. Ia menulis bahwa Sultan Al-Mudzaffar menyelenggarakan Maulid Nabi dengan penuh kesungguhan dan menghabiskan biaya besar untuk memberi makan rakyat, ulama, dan fakir miskin.
Ibnu Khallikan menggambarkan bahwa Sultan menyembelih ribuan ekor hewan, menyediakan makanan berlimpah, dan membagikan hadiah. Ia bahkan mengundang para ahli qira’ah, qasidah, dan ulama besar untuk mengisi acara. Dengan demikian, Maulid Nabi tidak hanya menjadi perayaan spiritual, tetapi juga momentum sosial yang mempererat persatuan rakyat.
Apalagi disebutkan bahwa Sultan Al-Mudzaffar menyediakan 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100 ekor kuda, dan ribuan nampan makanan setiap kali perayaan Maulid. Perayaan itu menjadi semacam festival keagamaan yang menggerakkan ekonomi, budaya, dan spiritual masyarakat.
Spirit Cinta Rasulullah ﷺ
Apa yang mendorong Sultan Al-Mudzaffar mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran? Jawabannya sederhana: cinta kepada Rasulullah ﷺ.
Ia menyadari bahwa umat membutuhkan sarana untuk mempererat hubungan spiritual dengan Nabi. Dengan memperingati Maulid, umat kembali membaca kisah perjuangan Nabi, mendengar sirah, dan meneladani akhlaknya. Perayaan ini juga menjadi momentum untuk menyatukan masyarakat dari berbagai kalangan.
Sultan Al-Mudzaffar memandang Maulid sebagai wujud syukur atas nikmat terbesar, yakni kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Tanpa Nabi, umat tidak akan mengenal Islam. Maka, merayakan Maulid sama artinya dengan mensyukuri nikmat terbesar Allah.
Warisan Sejarah
Tradisi yang dimulai Sultan Al-Mudzaffar terus berkembang hingga kini. Umat Islam di berbagai negara, dari Mesir, Suriah, Turki, Yaman, Maroko, hingga Nusantara, menjadikan Maulid Nabi sebagai momen istimewa. Bentuknya bisa berbeda: ada yang berupa pengajian, pembacaan barzanji shalawat, hingga festival budaya. Namun, intinya tetap sama: menyalurkan cinta kepada Rasulullah ﷺ.
Nama Sultan Al-Mudzaffar pun tercatat indah dalam sejarah. Ia bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga pelopor tradisi keagamaan yang menghidupkan cinta umat kepada Nabi.
Ibnu Katsir menutup biografinya tentang Sultan Al-Mudzaffar dengan doa: “Semoga Allah merahmatinya dan menjadikan surga sebagai balasannya.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
