SURAU.CO – Setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Tidak ada seorang pun di antara kita yang luput dari dosa dan kekhilafan. Hal ini adalah sebuah fitrah yang telah Allah tetapkan. Faktanya, Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan hal ini dalam sebuah hadits yang masyhur. Beliau bersabda:
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini memberikan dua pelajaran penting. Pertama, ia meyakinkan kita bahwa berbuat salah adalah hal yang sangat manusiawi. Kedua, ia menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada kesempurnaannya. Sebaliknya, kemuliaan terletak pada sikapnya setelah melakukan kesalahan. Di sinilah letak persimpangan jalan yang akan menentukan nasib kita.
Dua Jalan: Teladan Adam dan Cermin Iblis
Untuk itu, Al-Qur’an mengabadikan dua contoh sikap dalam menghadapi kesalahan. Keduanya menjadi pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Contoh pertama adalah teladan mulia dari bapak kita, Nabi Adam ‘alaihissalam. Sementara itu, contoh kedua adalah cermin buruk dari Iblis la’natullah ‘alaih.
Ketika Nabi Adam dan Hawa melanggar larangan Allah, mereka tidak mencari-cari alasan. Mereka juga tidak menyalahkan keadaan atau pihak lain. Sebaliknya, keduanya segera menundukkan kepala dan mengakui kesalahan dengan penuh penyesalan. Mereka berdoa dengan kejujuran dan kerendahan hati yang tulus. Allah pun mengabadikan doa indah mereka dalam Al-Qur’an:
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Wahai Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Sikap inilah yang menjadi kunci diterimanya taubat mereka. Dengan kata lain, mengakui kesalahan adalah gerbang pertama menuju ampunan Allah SWT.
Sebaliknya, mari kita lihat sikap Iblis. Ketika Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Adam, Iblis dengan angkuh menolak. Ia tidak merasa bersalah sedikit pun atas pembangkangannya. Justru, ia merasa lebih baik dari Adam. Ia menyombongkan diri dan mencari pembenaran atas dosanya. Iblis berkata dengan penuh keangkuhan:
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Kesombongan inilah yang membuatnya terusir secara hina dari rahmat Allah. Karena ia tidak mau mengakui kesalahannya, ia pun terjerumus semakin dalam ke jurang kesesatan.
Buah Manis dari Sebuah Pengakuan
Dari dua kisah berseberangan ini, kita dapat memetik pelajaran yang sangat berharga. Jujur mengakui kesalahan adalah tanda kebesaran jiwa. Ia merupakan cerminan dari hati yang rendah hati (tawadhu). Orang yang mengakui kesalahannya sedang membuka pintu lebar-lebar untuk perbaikan. Oleh karena itu, ia sadar bahwa dirinya butuh nasihat dan bimbingan untuk menjadi lebih baik.
Hal ini sejalan dengan nasihat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah:
“Barangsiapa yang mengakui kebenaran, maka akan mudah baginya untuk menerima kebenaran tersebut dari siapa pun. Dan akan mudah pula untuk mengobati penyakit (yang ada pada dirinya).”
Pengakuan, dengan kata lain, adalah langkah pertama menuju solusi. Jika kita tidak mau mengakui kesalahan, maka kita tidak akan pernah bisa memperbaikinya. Akibatnya, kita justru akan terus mengulang kesalahan yang sama berulang kali.
Sebaliknya, menyembunyikan atau menyangkal kesalahan adalah sifat asli dari kesombongan. Sifat ini sangat berbahaya karena ia menutup hati dari kebenaran. Orang yang sombong akan selalu merasa benar dan mudah menyalahkan orang lain. Pada akhirnya, ia akan terisolasi dari proses perbaikan diri dan jauh dari rahmat Allah.
Pilihlah Jalan Para Nabi
Maka, setiap kali kita berbuat salah, ingatlah persimpangan jalan ini. Apakah kita akan mengikuti jalan Nabi Adam yang penuh penyesalan? Ataukah kita akan tergelincir mengikuti jalan Iblis yang penuh kesombongan? Pilihan itu sepenuhnya ada di tangan kita.
Memang, mengakui kesalahan mungkin terasa berat bagi ego kita. Namun, itulah jalan kemuliaan yang sesungguhnya. Itulah pintu menuju ampunan, perbaikan, dan kedamaian hati. Oleh karena itu, mari kita latih diri kita untuk selalu jujur. Jujur kepada Allah, jujur kepada orang lain, dan jujur kepada diri sendiri. Semoga Allah membimbing kita untuk selalu memilih jalan para nabi, bukan jalan musuh-Nya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
