SURAU.CO. Seorang diaspora Indonesia menantang anggota DPR RI untuk melakukan debat terbuka. Ia menyampaikan tantangan ini pada akun instagram pribadinya. Diaspora Indonesia itu meminta prosesnya profesional dengan menghadirkan juri netral dan ahli. Tindakan ini merupakan respons atas pernyataan kontroversial dari beberapa anggota DPR yang menanggapi isu kenaikan tunjangan dewan serta desakan masyarakat yang meminta pembubaran lembaga legislatif tersebut.
Salah satu komentar yang paling menyulut emosi publik datang dari Ahmad Sahroni, anggota DPR dari Partai NasDem, yang menyebut mereka yang ingin membubarkan DPR sebagai “tolol”. Pernyataan keras ini tentu saja memicu berbagai reaksi di jagat maya. Salah satunya dari akun bernama Salsaer, yang menantang Sahroni untuk beradu argumen dalam debat publik yang sehat.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Di media sosial, di ruang-ruang diskusi daring, bahkan dalam perbincangan santai sehari-hari, debat sering kali muncul sebagai bentuk ekspresi atas pendapat dan posisi seseorang terhadap suatu isu.
Tapi di balik hiruk-pikuk debat, kita perlu bertanya: bagaimana sebenarnya Islam memandang perdebatan? Apakah berdebat itu dibolehkan? Atau justru dianjurkan untuk dihindari?
Debat menurut Islam
Dalam ajaran Islam, debat bukan sesuatu yang sepenuhnya dilarang. Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa suka berdebat merupakan salah satu tabiat manusia. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al Kahfi:54)
Perdebatan terjadi hampir di semua kalangan, mulai dari orang-orang awam hingga kaum intelektual, dengan topik yang sederhana hingga yang serius. Bahkan, dalam sejarah Islam, kita menemukan banyak kisah perdebatan yang justru berfungsi sebagai sarana dakwah. Salah satunya adalah dialog antara Nabi Ibrahim AS dan Raja Namrud yang diabadikan dalam Surah Al-Baqarah ayat 258. Dalam kisah tersebut, Nabi Ibrahim tidak memaki atau mencaci lawannya, melainkan menggunakan logika dan argumen yang kuat untuk menjelaskan kebenaran tentang keesaan Allah.
Islam mengenal istilah “mujadalah” yaitu perdebatan yang dilakukan dengan cara yang santun, ilmiah, dan bertujuan mencari kebenaran. Islam membolehkan debat, asalkan disampaikan dengan akhlak mulia dan niat yang lurus. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik…” (Al-Ankabut : 46).
Namun, Islam juga memberi peringatan keras terhadap debat yang didasari ego, kesombongan, atau hanya ingin menang sendiri. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali karena yang suka berdebat, kemudian beliau membaca ayat, ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az-Zukhruf: 58).” (H.R. Al-Tirmidzi)
Dalam hadis lain juga dijelaskan, “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras dalam perdebatan.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut menjadi pengingat bahwa debat tanpa tujuan kebenaran justru bisa menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang.
Berdebat Tanpa Ilmu
Salah satu bentuk debat yang sangat tidak dianjurkan dalam Islam adalah berdebat tanpa ilmu. Dalam berdebat kita menggunakan akal yang rasional, bukan hanya berburuk sangka tanpa data. Ketika seseorang hanya bermodal opini dan emosi tanpa dasar pengetahuan yang jelas, maka perdebatan tersebut cenderung menghasilkan keributan, bukan solusi. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah sebuah kaum tersesat setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka suka berdebat.” (HR. At-Tirmidzi).
Debat tanpa ilmu biasanya penuh dengan asumsi, sangkaan buruk, dan kadang menyertakan caci maki. Bahkan, dalam banyak kasus, debat jenis ini hanya menambah permusuhan antar individu dan kelompok, bukannya mendekatkan pada kebenaran atau hikmah.
Debat Kusir
Debat kusir adalah jenis perdebatan yang berlangsung panjang tanpa arah yang jelas. Ciri-cirinya antara lain: saling menyela, tidak saling mendengar, dan masing-masing pihak hanya ingin pendapatnya diterima tanpa membuka diri terhadap argumen lawan. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran justru tertutupi oleh ego masing-masing.
Debat kusir hanya akan membawa pada kebencian antar orang yang berdebat. Pihak yang berdebat saling keras kepala tanpa dalil yang jelas, padahal sudah terlihat jelas oleh nya bahwa perdebatan hanya akan menambah keburukan dan merusak hati.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku menjamin rumah di sekitar surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walau ia di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud). Hadis ini menunjukkan bahwa Islam memuliakan orang yang memilih diam dan mengalah demi menjaga ukhuwah (persaudaraan), daripada terus memaksa menang meskipun berada di jalur kebenaran.
Dalam berdebat, hendaklah mengetahui dengan jelas motivasi dan tujuannya, apakah mencari kebenaran atau mencari reputasi semata. Jika mereka yang berdebat sama-sama mencari kebenaran, mereka tidak akan mempertahankan pendapat yang salah dan tidak akan saling menjatuhkan. Begitupun saat berbicara dengan seseorang, janganlah memancing perdebatan yang sebenarnya tidak perlu.
Etika Berdebat dalam Islam
Islam sangat menekankan adab dalam berbicara, apalagi ketika sedang berdebat. Debat yang baik dilandasi ilmu dan kejujuran. Jangan sampai hanya bermodalkan informasi setengah matang atau niat menjatuhkan lawan. Tujuan utama dari debat adalah menemukan kebenaran, bukan memenangkan argumen.
Dalam berdebat, kita agar menghindari penggunaan kata-kata kasar. Kata-kata yang menyakiti hati orang lain, apalagi makian dan celaan, sangat bertentangan dengan adab Islam. Kita mengenal Nabi SAW sebagai sosok yang lembut, bahkan kepada orang yang menentangnya.
Kemudian, melakukan debat tidak bertujuan mempermalukan lawan. Debat bukanlah ajang adu gengsi. Menjatuhkan lawan dengan mempermalukannya hanya akan menumbuhkan dendam dan permusuhan. Seseorang yang berdebat hanya untuk menang akan kehilangan keberkahan dari ilmunya. Islam mengajarkan untuk menjaga kehormatan sesama, bahkan saat berbeda pendapat.
Ketika debat mulai kehilangan arah, penuh emosi, dan tidak lagi mencari solusi, maka saat itulah seorang muslim sebaiknya mundur dengan bijak. Debat yang sudah tidak di jalan yang lurus, hanya akan mengeraskan batu dan membawa kerusakan.
Membumikan Hikmah dalam Perdebatan Publik
Fenomena tantangan debat terbuka antara warga sipil dengan pejabat publik, seperti yang ramai di media sosial belakangan ini, bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ini mencerminkan semangat demokrasi, keterbukaan, dan keinginan masyarakat untuk berdialog secara kritis. Namun di sisi lain, jika tidak mengawalnya dengan etika dan niat yang lurus, maka debat semacam ini berpotensi menambah kegaduhan, bukan menyelesaikan persoalan.
Islam tidak anti terhadap kritik atau diskusi. Bahkan dalam banyak riwayat, para sahabat pun pernah berdiskusi dengan Rasulullah SAW dalam menyusun strategi perang, mengelola harta zakat, hingga menyelesaikan persoalan sosial. Tapi, Rasulullah dan para sahabat melakukannya dengan penuh hormat, adab, dan berdasarkan ilmu yang matang.
Dalam Islam, debat bukan sesuatu yang haram. Namun, kita harus memahami bahwa debat hanyalah alat, bukan tujuan. Kita harus menggunakan debat sebagai alat dakwah dengan benar, yaitu dengan ilmu, adab, dan niat yang baik. Jika tidak, debat bisa berdampak buruk dan merusak hubungan serta akhlak.
Islam menuntut kita untuk bijak dalam menanggapi segala sesuatu. Kadang, diam dalam kebenaran lebih mulia daripada menang dalam kebisingan. Mari kita jaga lisan dan hati kita. Karena dalam debat, bukan hanya menguji logika, tapi juga akhlak dan keimanan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
