SURAU.CO. Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan budaya dan tradisi, termasuk dalam hal merayakan hari-hari besar keagamaan. Salah satu bentuk kekayaan tradisi itu dapat kita temukan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang memiliki cara unik dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dikenal dengan nama Bungo Lado, sebuah perayaan penuh makna yang tidak hanya menunjukkan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga memuat pesan-pesan sosial, keagamaan, budaya, dan ekonomi yang sangat dalam. Di Sumatera Barat sendiri, tradisi ini hanya dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman.
Maulid Nabi, yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah, merupakan momen penting bagi umat Islam. Hari kelahiran Rasulullah ini dirayakan dengan berbagai cara di penjuru Nusantara, masing-masing dengan ciri khas lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat setempat. Di Padang Pariaman, Maulid tidak sekadar dirayakan, tetapi dihidupkan kembali melalui simbolisme dalam tradisi Bungo Lado.
Tradisi Bungo Lado merupakan tradisi turun temurun masyarakat Padang Pariaman yang mengandung nilai-nilai dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini merupakan ungkapan cinta masyarakat muslim kepada Nabi Muhammad SAW, khususnya di Kabupaten Padang Pariaman. Tradisi bungo lado.menjadi wadah bagi masyarakat Padang Pariaman untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, dalam hal ini mengumpulka uang untuk pembangunan masjid.
Apa Itu Bungo Lado?
Secara etimologis, “bungo” dalam bahasa Minangkabau berarti bunga, sedangkan “lado” berarti cabai. Sehingga, bungo lado berarti bunga cabai. Namun dalam konteks tradisi ini, Bungo Lado bukanlah bunga biasa, melainkan sebuah pohon hias yang daunnya terbuat dari uang kertas. Uang ini dirangkai sedemikian rupa menyerupai dedaunan yang menghiasi ranting-ranting, sehingga pohon tersebut menjelma menjadi simbol kedermawanan dan semangat gotong royong.
Biasanya, satu pohon Bungo Lado bisa mengumpulkan dana hingga puluhan juta rupiah. Dalam satu nagari saja, masyarakat bisa menghasilkan hingga 9 pohon, yang artinya total dana yang terkumpul bisa mencapai Rp90 juta. Uang ini kemudian disumbangkan sepenuhnya untuk pembangunan dan pemeliharaan masjid. Maka, Bungo Lado tidak hanya menjadi simbol estetika, tetapi juga menjadi perwujudan nyata dari semangat kolektif dalam memakmurkan rumah ibadah.
Ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat di hari kelahiran baginda Rasulullah. Bagi masyarakat Padang Pariaman, tradisi bungo lado merupakan representatif dari ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 148 yang memerintahkan umat manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 148)
Ritual dan Persiapan Tradisi Bungo Lado
Pelaksanaan tradisi Bungo Lado biasanya berlangsung di masjid-masjid bersejarah yang menjadi pusat kehidupan keagamaan masyarakat. Sehari sebelum acara, para ibu-ibu di kampung mulai mempersiapkan jamba, yaitu hidangan khas Minangkabau yang disusun rapi dan dibawa ke masjid. Tidak hanya makanan berat, dalam jamba juga terdapat kue-kue tradisional seperti lemang, lapek, dan berbagai lauk-pauk.
Uniknya, masyarakat juga membawa “minum kopi”, yang bukan sekadar berisi kopi, tetapi merupakan wadah besar bertingkat yang dipenuhi dengan aneka makanan ringan dan buah-buahan. Semua ini mencerminkan semangat kebersamaan, karena setiap rumah tangga turut berkontribusi tanpa memandang status sosial.
Prosesi ini melibatkan tokoh-tokoh penting masyarakat Minangkabau seperti Cadiak Pandai (cerdik pandai), Bundo Kanduang (tokoh perempuan adat), para alim ulama, dan wali nagari (kepala desa). Mereka menjadi penjaga kelangsungan adat, sekaligus penutur nilai-nilai kebaikan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam prosesi Bungo Lado, mereka menyampaikan nasehat dan segala makna dalam pepatah adat, membaca doa, dan memimpin dzikir bersama.
Nilai-Nilai Penting dalam Tradisi Bungo Lado
Nilai Sosial
Tradisi Bungo Lado menjadi ajang mempererat hubungan antar anggota masyarakat. Melalui tradisi ini terbangun hubungan timbal balik, kerja sama dan semangat kegotongroyongan. Tradisi ini mendorong masyarakat untuk bekerja sama dan bermusyawarah, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Setiap keluarga ikut berpartisipasi dengan cara yang mereka bisa. Di sinilah terlihat semangat kekeluargaan yang tinggi dan rasa tanggung jawab kolektif yang sangat kental.
Tradisi bungo lado membangun hubungan kekeluargaan yang makin erat. Misalnya, ketika ada seorang pria dari Nagari Parit Melintang menikahi perempuan dari luar nagari, maka tradisi ini menjadi momen penting untuk mengundang sang menantu perempuan membantu mertuanya menyiapkan jamba. Ini adalah simbol harmonisasi hubungan keluarga dan upaya untuk menyatukan budaya.
Nilai Ekonomi
Masyarakat mengumpulkan sumbangan sukarela dalam bentuk pohon uang untuk pembangunan masjid tanpa ada paksaan, menunjukkan peran penting nilai ekonomi dalam tradisi Bungo Lado. Setiap orang menyumbang sesuai kemampuan mereka, mencerminkan prinsip keadilan sosial. Orang yang memiliki sumber daya lebih banyak memberi lebih banyak, sementara partisipasi mereka yang kurang mampu tetap dihargai.
Di sisi lain, kegiatan ini juga menggerakkan ekonomi lokal. Persiapan makanan, bahan-bahan hiasan, dan kebutuhan lainnya menimbulkan aktivitas ekonomi kecil yang menguntungkan banyak pihak.
Nilai Keagamaan
Landasan utama dari tradisi ini adalah kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Mereka melakukan berbagai kegiatan, seperti berdzikir, membaca sirah Nabi, dan menyumbang untuk masjid, dengan tujuan mendapatkan pahala dan ridha Allah.
Masyarakat memberikan sumbangan sebagai sarana untuk membersihkan harta, sesuai dengan ajaran Islam tentang sedekah dan infak. Di sisi spiritual, masyarakat berharap mendapatkan syafaat Rasulullah melalui peringatan kelahirannya. Acara ini menampilkan pembacaan kisah perjuangan Nabi dari lahir hingga menjadi rasul, untuk merefleksikan keteladanan beliau.
Nilai Adat dan Budaya
Tradisi Bungo Lado juga memperkuat nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau. Salah satu pepatah adat berbunyi: “Sakik dek urang, sakik lo dek awak; sanang dek urang, sanang lo dek awak.” Artinya, penderitaan orang lain juga adalah penderitaan kita, begitu pula kebahagiaan mereka.
Masyarskat Padang Pariaman menerapkan falsafah ini dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pelaksanaan tradisi Bungo Lado. Ketika satu keluarga mengalami kesulitan dalam persiapan acara, tetangga akan datang membantu. Ini menunjukkan bahwa adat Minangkabau sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas dan empati.
Melestarikan Warisan Budaya Islam Nusantara
Bungo Lado tidak hanya menjadi ritual tahunan dalam perayaan Maulid. Ia adalah warisan budaya Islam Nusantara yang mencerminkan harmoni antara agama dan budaya lokal. Tradisi ini memperlihatkan bahwa menghidupkan nilai-nilai kebaikan bisa dengan cara khas, kreatif, dan bermakna, bahkan di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus berkembang.
Bungo Lado bukan sekadar pohon uang, tetapi pohon kebaikan yang tumbuh dari nilai-nilai sosial, agama, budaya, dan ekonomi masyarakat Minangkabau. Tradisi ini membuktikan bahwa peringatan Maulid Nabi bukan sekadar seremoni, melainkan wujud nyata cinta, gotong royong, dan keimanan yang terbungkus dalam kearifan lokal yang luhur.
Pemerintah daerah, tokoh adat, dan generasi muda harus bekerja sama untuk melestarikan tradisi ini agar tidak punah seiring waktu. Mereka tidak hanya perlu merayakannya, tetapi juga memahami, menghargai, dan mewariskan tradisi ini dengan kesadaran penuh akan nilai-nilainya yang berharga.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
