SURAU.CO – Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sudah menjadi tradisi rutin bagi masyarakat Islam Indonesia. Dari Barat hingga Timur, terutama pada daerah-daerah yang masyarakatnya memiliki nilai keislaman kental. Sebagaimana kita pahami, Islam mengalami akulturasi dengan nilai-nilai budaya lokal pada masing-masing daerah. Demikian pula dengan perayaan maulid, proses akulturasi telah menciptakan berbagai warna tersendiri dalam pelaksanaannya. Salahsatu daerah Indonesia yang memiliki ritual pelaksanaan maulid yang khas adalah daerah Buton. Haroana Maludhu di Buton adalah tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sebagai wujud cinta pada Rasulullah SAW.
Awal Mula Haroana Maludhu di Buton
Riwayat sejarah mencatat bahwa tradisi Haroana Maludhu di Buton bermula sejak masa Kesultanan Buton, yang berdiri pada abad ke-14 hingga ke-20. Islam mulai masuk ke wilayah Buton pada abad ke-16 melalui para ulama, saudagar, dan muballigh dari Arab, Melayu, dan Jawa. Adalah Sultan Murhum yang juga bergelar La Kilaponto, salah satu sultan yang berperan besar dalam penguatan Islam di Buton. Pada zaman Beliaulah perayaan maulid di Buton bermula menjadi tradisi.
Ketika itu perayaan maulid masih bersifat sangat sederhana. Sultan Dayanu Ihsanuddin (1629 M), menetapkan bahwa peringatan maulid berlangsung pada dini hari tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sultan memimpin langsung dan para perangkat Masjid Keraton Butuni turut menghadiri ritual tengah malam tersebut. Mereka menamainya dengan Goraana Oputa atau dalam bahasa Buton berarti munajat Sang Sultan. Ritual ini menggambarkan suatu bentuk permohonan sultan kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan kekuatan kepada sultan dalam menjalankan ajaran Rasulullah.
Selain itu, ada juga ritual yang melibatkan masyarakat Buton secara umum, yakni Maluduna Miabari (maulid seluruh masyarakat). Pelaksanaanya pada pagi hari setelah ritual maulid keluarga kesultanan. Umumnya bermula selepas salat subuh atau sekitar pukul 06.00. Dalam kedua prosesi ritual ini, imam membacakan riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang terangkum dalam kitab Barzanji.
Dengan dukungan Kesultanan Buton, tradisi ini kemudian berkembang menjadi acara besar yang berlangsung di masjid-masjid, dalam lingkungan keraton, hingga kampung-kampung. Sampai kini, Haroana Maludhu tetap lestari sebagai bagian dari identitas religius dan kultural masyarakat Buton.
Gelaran Haroana Maludhu
1. Persiapan
Beberapa hari sebelum perayaan, masyarakat Buton akan mempersiapkan segala kebutuhan. Mulai dari membersihkan masjid, menyiapkan hidangan khas, hingga menyusun “kasuddu maludu” (hidangan utama Maulid). Persiapan kasuddu ini secara gotong royong oleh masyarakat sebagai simbol kebersamaan.
2. Acara di Masjid
Puncak perayaan dilakukan di masjid. Acara biasanya dimulai dengan dzikir, doa, dan pembacaan syair Barzanji atau maulid yang menceritakan kisah kelahiran, perjuangan, dan akhlak Rasulullah SAW. Suasana menjadi khidmat, penuh dengan lantunan shalawat dan pujian kepada Nabi.
3. Kasuddu Maludu
Salah satu ciri khas Haroana Maludhu di Buton adalah kehadiran kasuddu maludu. Kasuddu berarti tumpukan makanan yang disusun sedemikian rupa hingga berbentuk gunungan. Makanan tersebut terdiri dari : ketupat dan burasa (nasi yang dimasak dalam anyaman daun), telur rebus yang diwarnai. Pelengkapnya adalah kue tradisional Buton seperti bagea, cucur, dan onde-onde, buah-buahan, hingga hidangan lauk-pauk khas Buton. Kasuddu maludu tersusun indah dalam wadah besar seperti talam. Setelah doa bersama, makanan tersebut kemudian terbagikan kepada masyarakat, sanak keluarga, dan tetangga.
4. Nilai Gotong Royong
Hidangan dalam kasuddu maludu berasal dari sumbangan bersama masyarakat. Setiap keluarga menyumbang sesuai kemampuan, baik berupa bahan makanan maupun tenaga. Dengan demikian, Haroana Maludhu juga menjadi sarana mempererat tali silaturahmi dan solidaritas sosial.
Makna Simbolis dan Edukatif Haroana Maludhu
Tradisi Haroana Maludhu tidak hanya bermakna sebagai pesta ritual keagamaan, tetapi juga sarat akan makna simbolis dan edukatif berikut :
- Kasih Sayang pada Rasulullah SAW. Perayaan Maulid adalah wujud kecintaan masyarakat Buton kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan memperingati kelahiran beliau, mereka berharap dapat meneladani akhlak mulia dan perjuangan beliau.
- Syukur atas Nikmat Islam. Masyarakat Buton menyadari bahwa Islam adalah nikmat besar yang membimbing kehidupan mereka. Haroana Maludhu menjadi sarana syukur karena telah mendapat hidayah Islam.
- Solidaritas Sosial. Kasuddu maludu menjadi simbol persatuan, gotong royong, dan kebersamaan. Makanan yang tersedia dan terbagikan tidak hanya untuk keluarga, tetapi juga untuk semua orang yang hadir, sehingga mencerminkan nilai keadilan sosial dalam Islam.
- Identitas Budaya Buton. Tradisi ini menegaskan identitas masyarakat Buton sebagai komunitas Muslim yang taat dan menjunjung tinggi warisan leluhur. Haroana Maludhu adalah warisan budaya yang memadukan nilai agama dan adat.
Perspektif Islam tentang Peringatan Maulid
Dalam Islam, memperingati Maulid Nabi memang tidak wajib. Namun, banyak ulama menilai bahwa memperingati kelahiran Rasulullah SAW adalah sesuatu yang mubah bahkan dianjurkan, selama melakukanya dengan cara yang baik, penuh rasa syukur, dan tidak berlebihan.
Rasulullah SAW sendiri ketika ditanya tentang puasa Senin, beliau menjawab:
“Itu adalah hari aku dilahirkan.” (HR. Muslim).
Hadis ini menjadi salah satu dasar bahwa memperingati kelahiran Rasulullah adalah bentuk syukur kepada Allah. Dalam konteks Buton, Haroana Maludhu menjadi wujud nyata ekspresi syukur itu melalui dzikir, doa, dan berbagi makanan.
Tantangan Pelestarian
Pada era modern ini, tantangan terhadap tradisi Haroana Maludhu semakin besar. Globalisasi dan perubahan gaya hidup membuat sebagian generasi muda kurang tertarik dengan tradisi lokal. Namun, dengan peran ulama, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah, Haroana Maludhu tetap lestari sebagai warisan budaya Islam di Buton.
Haroana Maludhu di Buton adalah tradisi yang penuh makna. Ia bukan sekadar pesta adat, tetapi juga perayaan spiritual yang menegaskan cinta masyarakat kepada Rasulullah SAW. Melalui dzikir, doa, kasuddu maludu, dan kebersamaan, masyarakat Buton menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi dapat terwujudkan dengan syukur, solidaritas, dan amal kebajikan.
Tradisi ini mengajarkan bahwa mencintai Rasulullah bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata—meneladani akhlaknya, mempererat silaturahmi, dan berbagi kepada sesama. Dengan demikian, Haroana Maludhu bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jalan menuju keberkahan dan tanda cinta sejati pada Rasulullah SAW.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
