Khazanah
Beranda » Berita » Sekaten: Tradisi Kraton Yogyakarta Menyambut Maulid Nabi

Sekaten: Tradisi Kraton Yogyakarta Menyambut Maulid Nabi

Para Abdi Dalem gunungan dengan Berbagai Hasil Bumi yang Melambangkan kemakmuran dan berkah dari Allah Swt.

SURAU.CO. Sekaten adalah perayaan tahunan yang sarat makna, menggabungkan unsur spiritual dan budaya. Perayaan ini adalah wujud penghormatan terhadap kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Setiap bulan Rabiul Awal, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjelma menjadi ruang spiritual dan kultural. Perayaan Sekaten ini identik dengan adanya tabuhan gamelan yang bernama Gamelan Sekati  terdiri dari dua perangkat gamelan yaitu Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo dipersiapkan. Gending Jawa mengalir pelan. Irama ini menyusup ke jalan-jalan sekitar Alun-Alun Utara.

Rakyat datang dari berbagai penjuru dengan berpakaian sederhana, bersarung, dan berpeci. Mereka berkumpul untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tradisi ini adalah Sekaten, perayaan yang telah berusia ratusan tahun yang memadukan irama gamelan, lantunan doa, dan semangat berbagi. Di Yogyakarta, Sekaten menjadi momen sakral sekaligus meriah. Ini menandai bagaimana Islam di tanah Jawa tumbuh dengan akulturasi budaya yang bijaksana.

Menggali Arti Sekaten

Sekaten adalah tradisi tahunan yang digelar pada bulan Rabiul Awal. Tujuannya adalah menghormati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Kata Sekaten berasal dari istilah Arab Syahadatain. Masyarakat yang ingin menyaksikan gamelan pusaka harus membaca syahadat terlebih dahulu. Tradisi ini mengandung unsur dakwah yang halus.

Ada juga tafsir lain terkait sekaten, seperti dari kata Jawa sekati atau suka ati. Namun, makna inti Sekaten selalu bermuara pada peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Ini meneguhkan iman dan mempererat hubungan antara keraton, rakyat, dan nilai-nilai Islam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Jejak Sejarah: Sekaten dari Walisongo hingga Keraton

Jejak Sekaten tidak lepas dari peran Walisongo. Sunan Kalijaga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah pada abad ke-15. Masyarakat Jawa tertarik mendengarkan lantunan gamelan di halaman masjid. Sebelum masuk, mereka secara sadar melafalkan syahadat. Ini menjadikan Sekaten sarana penyebaran Islam yang damai.

Tradisi ini kemudian terus berlanjut sampai dengan masa Kesultanan Demak, dan Mataram Islam meneruskan tradisi ini, hingga akhirnya diwarisi oleh Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di Yogyakarta, Sekaten menjadi salah satu tradisi kebudayaan yang paling terjaga.

Prosesi Sekaten

Rangkaian Sekaten biasanya dimulai pada tanggal 5 Mulud dengan prosesi Miyos Gangsa, ketika gamelan pusaka keluar dari Kraton menuju Masjid Gedhe Kauman. Sejak saat itu, gamelan terus mengalun setiap hari hingga tanggal 11 Mulud, menandai suasana syahdu yang menyertai perayaan. Tidak berhenti di situ, tradisi berlanjut dengan upacara Udhik-Udhik, saat Sultan atau wakilnya menaburkan beras, uang logam, dan bunga kepada rakyat. Taburan itu bukan sekadar simbol, melainkan sedekah yang menumbuhkan kegembiraan sekaligus pengingat bahwa seorang pemimpin harus berbagi rezeki dengan masyarakatnya.

Pada tanggal 11 Mulud malam, terdapat gelaran acara Numplak Wajik. Abdi dalem menyiapkan gunungan dengan hasil bumi, jajanan tradisional, dan wajik ketan manis. Gunungan melambangkan kemakmuran dan berkah dari Allah Swt.
Puncaknya jatuh pada 12 Mulud atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Gunungan diarak keluar keraton menuju Masjid Gedhe Kauman. Setelah doa bersama, masyarakat berebut isinya dengan keyakinan membawa keberkahan. Gamelan pusaka kembali ke keraton lewat prosesi Kondur Gangsa, menandai berakhirnya Sekaten.

Memaknai Sekaten: Dakwah, Sosial, dan Budaya

Sekaten memiliki tujuan ganda yaitu dakwah dan sosial. Dakwah tampak dalam simbol syahadatain, tabuhan gamelan yang menarik masyarakat, dan pengingatan pada Nabi Muhammad Saw. Nilai sosial terlihat dalam udhik-udhik dan pembagian gunungan yang menekankan berbagi rezeki.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Bagi kraton, sekaten juga menjadi jembatan antara pemimpin dan rakyat. Bagi masyarakat, sekaten bukan hanya tontonan, tetapi juga tuntunan. Kehadiran gamelan, doa, dan rebutan gunungan menyatukan dimensi religius dan kultural.

Sekaten: Warisan Budaya

Bagi sebagian orang, sekaten menjadi nostalgia budaya. Bagi yang lain, ia adalah ruang spiritual untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana kata seorang sesepuh, Pelaku sejarah di Yogyakarta, “Sekaten iku wektu kanggo ngelingi Nabi lan syukur marang Gusti Allah.” (Sekaten waktu untuk mengingat Nabi dan bersyukur kepada Allah Swt)

Sekaten adalah warisan budaya sekaligus ibadah. Ia menunjukkan bagaimana Islam dan tradisi Jawa saling menyapa. Dari Kraton Yogyakarta, gema Sekaten terus mengalun. Itu mengingatkan kita bahwa cinta Nabi hidup dalam doa dan budaya yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement