Khazanah
Beranda » Berita » Muludan: Cinta Nabi dalam Tradisi Jawa

Muludan: Cinta Nabi dalam Tradisi Jawa

Muludan bukan sekadar tradisi. Ia adalah malam penuh cahaya, malam di mana kerinduan pada Nabi Muhammad SAW disulam bersama rasa persaudaraan dan kebersamaan

SURAU.CO. Umat Islam kini memasuki Bulan Rabiul Awal atau yang dikenal pula sebagai Bulan Maulud (baca: Mulud) 1447 H. Bulan ini bukan sekadar penanda waktu dalam kalender hijriah, melainkan momen yang sarat makna bagi umat Islam, khususnya masyarakat Jawa. Setiap kali Rabiul Awal tiba, ingatan umat pun kembali pada sosok agung, Nabi Muhammad SAW, yang kelahirannya menjadi cahaya bagi seluruh alam.

Dari sinilah, berbagai tradisi Islami mulai digelar. Di desa-desa maupun kota, masyarakat tidak hanya berkumpul untuk berdoa, tetapi juga merayakan kebersamaan. Kenduri hadir sebagai ruang berbagi rezeki, sementara lantunan shalawat menghidupkan suasana batin dengan kerinduan mendalam kepada Rasulullah. Dengan begitu, perayaan Muludan tidak berhenti pada seremonial, melainkan menjelma sebagai jembatan spiritual yang mengikat hati umat kepada Nabi Muhammad SAW.

Suasana Magis Malam Muludan

Malam Muludan selalu menghadirkan suasana yang berbeda di desa-desa Jawa. Lampu-lampu minyak memancarkan cahaya kuning temaram, menebar rasa hangat di halaman rumah. Dari dapur-dapur sederhana, aroma ayam ingkung dan nasi uduk menyeruak, menjadi pertanda warga bersiap menuju mushola untuk kenduri Muludan.

Anak-anak berlarian dengan riang, sambil menjinjing besek berisi kue apem dan jenang. Di sudut lain, kaum ibu menenteng panci berisi sayur lodeh, sementara para bapak dengan sarung dan peci hitam menyalami tetangga yang mereka jumpai di jalan. Semuanya tampak bergegas, seolah desa sedang mengatur irama menuju sebuah pesta besar yang hanya datang sekali dalam setahun.

Begitu jamaah memasuki mushola, suasana sakral langsung menyelimuti. Tikar pandan terhampar rapi, siap menampung langkah kaki mereka. Di tengah ruangan, warga menaruh ingkung ayam sebagai pusat perhatian, lalu mengelilinginya dengan aneka makanan yang mereka bawa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Sesepuh desa membuka acara dengan salam, dan seketika suasana hening. Tak lama, lantunan shalawat Nabi mengalun, jamaah menyambutnya dengan sahutan merdu penuh kekhusyukan. Malam terus larut dalam cahaya doa, menyulam kebersamaan sekaligus kerinduan mendalam kepada Rasulullah.

Muludan: Syahdu dengan Shalawatan

“Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad…, Allahumma Sholli Alaih wa ‘Ala Alaih”

Shalawat menggema, bersahutan dengan alunan Barzanji. Santri muda menabuh rebana, menghidupkan suasana malam Muludan. Anak-anak yang semula ribut perlahan duduk tenang, larut mendengarkan kisah Nabi yang dibacakan penuh cinta.

Menjelang tengah malam, sesepuh desa memimpin doa. Nama Nabi Muhammad Saw disebut dengan penuh haru. Beberapa ibu meneteskan air mata, sementara doa-doa terus mengalir—untuk Rasulullah, untuk keselamatan desa, kesehatan keluarga, dan ketenteraman hidup bersama.

Usai doa, tibalah saat yang ditunggu: pembagian berkat. Ingkung ayam dipotong kecil-kecil, nasi uduk dibagi rata, dan kue tradisional diserahkan satu per satu. Tawa pun pecah, anak-anak bersorak kegirangan, sementara para bapak berbincang hangat di sudut mushola.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Bagi warga desa, Muludan bukan hanya ritual tahunan. Ia adalah malam bercahaya yang merajut kerinduan pada Nabi dengan persaudaraan yang erat, menghadirkan kebahagiaan yang sederhana sekaligus mendalam.

Kilas Balik: Muludan di Berbagai Penjuru Jawa

Bulan Rabiul Awal, atau bulan Mulud, menghadirkan suasana yang berbeda di Jawa. Masyarakat berkumpul di masjid, mushola, atau balai desa. Mereka membawa nasi ingkung, tumpeng, atau sekadar jajanan pasar. Ini adalah tradisi untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw yang sudah berakar ratusan tahun.

Di Sleman, aroma ingkung ayam jago segera memenuhi udara ketika malam Muludan tiba. Setiap keluarga memasak ingkung, lalu membawanya ke rumah ketua RW. Warga duduk melingkar, mendengarkan doa dan nasihat sang modin tentang keteladanan Nabi Muhammad. Setelah itu, mereka membagi nasi uduk dan sayur sederhana, menikmati kebersamaan yang mengikat hati dengan rasa syukur.

Dari suasana hangat desa, kita beralih ke Cirebon. Di Pesantren Buntet, Muludan menjelma pesta ruhani. Santri melantunkan Barzanji, rebana bertalu, dan gema shalawat menyalakan semangat cinta kepada Rasulullah. Tradisi itu mengalir hingga Kraton Yogyakarta dan Surakarta, tempat Muludan mencapai puncak perayaan. Gamelan pusaka bertalu, gunungan hasil bumi merapat keluar keraton, lalu rakyat berebut dengan penuh semangat.

Riuh rebutan membawa keyakinan yang kuat: setiap cabai, daun, atau potongan sayur dari gunungan mengandung berkah. Dari dapur desa hingga halaman keraton, Muludan terus memadukan iman dan budaya. Perayaan ini mengingatkan bahwa cinta kepada Nabi tidak hanya hidup dalam cerita, tetapi juga hadir nyata dalam doa, kenduri, dan kebersamaan lintas generasi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Merawat Cinta dan Warisan Budaya

Di balik kemeriahan Muludan, tersimpan pesan mendalam. Bagi orang Jawa, Muludan bukan sekadar pesta tradisi, tetapi cara menghidupkan cinta kepada Nabi Muhammad. Mereka tidak hanya menghafal sejarah, tetapi merajutnya dalam ritual kebersamaan. Kenduri menumbuhkan solidaritas, shalawat menyalakan kerinduan, dan gunungan mengajarkan arti berbagi rezeki.

Di tengah derasnya arus modernitas, Muludan hadir sebagai bukti bahwa agama dan budaya bisa berjalan berdampingan. Keduanya saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Seorang sesepuh desa pernah berujar, “Muludan iku dudu mung mangan bareng, nanging ngelingake awake dhewe: sopo sing dadi panutan urip iki.” (Muludan itu bukan sekadar makan bersama, tetapi mengingatkan siapa teladan hidup kita). Ucapan itu menegaskan bahwa setiap kali Muludan datang, sejarah tidak lagi jauh. Ia hidup dalam doa para ibu, tawa anak-anak, dan hati santri yang terus mengalunkan cinta.

Muludan adalah warisan. Ia mengajarkan bahwa mencintai Nabi bukan hanya lewat kata, tetapi lewat kebersamaan, kepedulian, dan doa yang tulus. Cinta itu terus mengalir dari generasi ke generasi, menyalakan cahaya di tengah zaman yang berubah. Mari kita lestarikan tradisi Muludan sebagai wujud cinta kita kepada Rasulullah Muhammad Saw. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement