SURAU.CO – Barzanji berisi doa, puji-pujian, dan kisah tentang riwayat Nabi Muhammad ﷺ yang orang-orang lantunkan dengan irama atau nada indah. Kitab ini menuturkan ringkasan perjalanan hidup Rasulullah, mulai dari silsilah keturunan, kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, hingga beliau diangkat menjadi rasul. Penulis kitab juga mengisahkan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad dan berbagai peristiwa penting dijadikan teladan bagi umat manusia. Bacaan ini disusun dalam bentuk prosa dan syair yang memadukan kekuatan sejarah dengan keindahan bahasa sehingga maulid Barzanji mampu menyentuh hati para pembacanya.
Asal-usul Kitab Barzanji
Seorang ulama besar bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim Al-Barzanji menulis Maulid Barzanji. Keluarganya berasal dari sebuah daerah bernama Barzanj di Kurdistan, sehingga orang-orang kemudian menyebut karyanya dengan nama “Barzanji.”
Syaikh Ja’far hidup merupakan seorang sufi, mufti, sekaligus khatib Masjid Nabawi di Madinah. Umat Islam mengenalnya karena keluasan ilmu, akhlak yang luhur, dan doa-doa yang mustajab. Maulid Barzanji sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawahir fi Mawlid an-Nabiyyil Azhar (Kalung Permata tentang Kelahiran Nabi yang Bercahaya). Namun, karena orang-orang lebih sering menyebut nama pengarangnya, kitab tersebut akhirnya populer dengan sebutan Barzanji .
Maulid Nabi dan Semangat Perang Salib
Sejarah Barzanji berkaitan erat dengan peringatan Maulid Nabi itu sendiri. Pada awalnya, Maulid Nabi belum menjadi tradisi luas di kalangan umat Islam. Barulah ketika Perang Salib berkecamuk, para pemimpin Islam menggulirkan gagasan peringatan kelahiran Nabi untuk membangkitkan semangat juang umat.
Ketika tentara salib berhasil merebut Yerusalem pada tahun 1099 M, umat Islam terjatuh dalam keterpurukan. Mereka kehilangan semangat, tercerai-berai, dan tidak memiliki daya juang. Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, penguasa Dinasti Ayyubiyah, menyadari bahwa ia perlu menyalakan kembali kecintaan umat kepada Nabi Muhammad ﷺ agar mereka bangkit melawan penjajah. Atas usulan iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, Salahuddin kemudian mendorong umat Islam untuk memperingati Maulid Nabi secara massal.
Pada tahun 1184 M, perayaan Maulid Nabi secara resmi digelar untuk pertama kalinya. Salah satu acaranya berbentuk sayembara penulisan riwayat Nabi dengan bahasa paling indah. Dari ajang itulah lahirlah karya Syaikh Ja’far Al-Barzanji, yang kemudian dikenal dan dibaca hingga tersebar ke berbagai negeri.
Perayaan ini berhasil menyalakan kembali semangat jihad umat. Tiga tahun kemudian, tepat pada tahun 1187 M, Salahuddin berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan tentara salib. Sejak itu, tradisi memperingati Maulid Nabi terus tumbuh dan menyebar ke seluruh dunia Islam.
Isi dan Kandungan Barzanji
Kitab Barzanji terdiri atas dua bagian besar, yaitu Natsar (prosa) dan Nadzom (syair). Bagian Natsar menuturkan perjalanan hidup Nabi, mulai dari silsilah hingga wafat. Bagian Nadzom berisi puisi-puisi berisi doa, shalawat, dan pujian kepada Rasulullah.
Secara garis besar, kitab Barzanji menjelaskan:
- Silsilah Nabi Muhammad SAW, dari Adnan hingga Abdullah, ayah beliau.
- Kisah masa kecil Nabi yang penuh tanda keistimewaan.
- Perjalanan Nabi ke Syam bersama pamannya ketika berusia 12 tahun.
- Pernikahan Nabi dengan Khadijah pada usia 25 tahun.
- Pengangkatan beliau sebagai Rasul di usia 40 tahun hingga perjuangan dakwah sampai wafat pada usia 63 tahun.
Maulid Barzanji juga menggambarkan peristiwa luar biasa yang mengiringi kelahiran Nabi. Misalnya, istana Kisra di Persia yang runtuh, api sesembahan Majusi yang padam, hingga kelahiran Nabi dalam keadaan bersujud. Semua itu dipandang sebagai pertanda besar kedatangan sang pembawa risalah.
Penulis juga menegaskan keagungan akhlak Nabi. Salah satunya terlihat ketika beliau berhasil mendamaikan kabilah-kabilah Quraisy dalam peristiwa peletakan Hajar Aswad di Ka’bah. Dengan kebijaksanaannya, Nabi membuat semua pihak merasa terhormat dan kembali bersatu.
Seorang sarjana Jerman, Annemarie Schimmel, dalam bukunya Dan Muhammad adalah Utusan Allah (1991), menegaskan bahwa karya Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi. Meski awalnya berbentuk prosa, teks ini kemudian berkembang menjadi syair penuh metafora sehingga lebih mudah didendangkan dan menggetarkan jiwa.
Barzanji Menjadi Budaya Islam
Sejak Syaikh Ja’far menulisnya, Barzanji menyebar ke dunia Arab, Asia, hingga Afrika. Umat Islam di Mesir, India, Turki, sampai Indonesia melantunkan syair ini dalam berbagai acara keagamaan. Bahkan, Muslim di Afrika Timur pun menjadikan Barzanji sebagai bacaan dan budaya mereka.
Di Nusantara, tradisi membaca Barzanji sudah sangat familiar. Mereka membacanya dalam berbagai momen, seperti kelahiran bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, bahkan haul kematian. Umat Islam meyakini bacaan ini membawa keberkahan, ketenteraman, dan doa keselamatan.
Dalam tradisi masyarakat adat, orang-orang juga sering melantunkan Barzanji saat tasyakuran besar, biasanya disertai iringan hadrah dan ditutup dengan mau’idhah hasanah dari para ulama. Semua ini menunjukkan bahwa karya Syaikh Ja’far Al-Barzanji membentuk tradisi dan kebudayaan umat Islam.
Keindahan Sastra dan Spiritualitas
Keindahan bahasa menjadi daya tarik utama Barzanji. Syair-syairnya menggambarkan Nabi Muhammad sebagai “mentari, rembulan, dan cahaya di atas cahaya.” Penulis melukiskan silsilah beliau sebagai “untaian mutiara.” Idiom-idiom puitis dari alam semesta dipadukan dengan doa dan shalawat, sehingga lahirlah karya penuh metafora yang gemilang.
Tak heran jika Barzanji tetap hidup dan dilantunkan. Kekuatan teksnya tidak hanya terletak pada sejarah yang ia catat, tetapi juga pada kemampuannya menumbuhkan rasa cinta, kerinduan, dan kekaguman umat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan membaca dan melantunkan Barzanji, umat Islam tidak hanya mengenang perjalanan hidup Nabi, tetapi juga berusaha meneladani akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
