Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Haji: Perjalanan Kaki yang Sejatinya Perjalanan Pulang

Haji: Perjalanan Kaki yang Sejatinya Perjalanan Pulang

Ilustrasi seorang muslim berjalan menuju Ka’bah dengan cahaya langit sebagai penuntun.
Ilustrasi perjalanan haji sebagai simbol pulang ke Allah, penuh cahaya dan keheningan batin.

Jejak yang Mengingatkan Rumah Sejati

Haji selalu dipahami sebagai perjalanan panjang: dari rumah menuju tanah suci, dari paspor hingga ihram, dari Mina hingga Arafah. Namun sejatinya, haji adalah perjalanan pulang—bukan pulang ke rumah di kampung halaman, melainkan pulang ke asal usul ruhani. Itulah mengapa para ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Kimiyaus Sa’adah menyebut bahwa setiap langkah haji adalah simbol kembali ke Allah, kembali ke rumah abadi yang kita rindukan.

Kata kunci haji sebagai perjalanan pulang tidak sekadar frasa indah. Ia adalah kenyataan yang terasa di setiap tetes keringat jamaah. Haji bukan cuma ritual, melainkan peringatan keras bahwa kita sedang berjalan menuju akhirat.

Tangisan di Bandar Udara

Saya pernah menemani seorang kerabat berangkat haji. Di bandara, air matanya jatuh bukan karena takut terbang, melainkan rasa tak percaya bahwa Allah memanggilnya. Ia berbisik,
“Ini perjalanan pulang, meski aku masih bernapas.”

Dialog singkat itu membekas. Bukankah hidup kita memang serupa transit panjang, dan haji hanya menegaskan arah kompasnya?

Simbol yang Melebihi Diri

Setiap rukun haji mengandung makna mendalam. Saat tawaf, kita seperti planet mengitari pusat jagat: Ka’bah. Saat wukuf di Arafah, manusia kembali setara, menanti satu hal: ampunan. Dan ketika melempar jumrah, kita belajar melempar nafsu dan bisikan setan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Qur’an menegaskan:

﴿وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ﴾
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus; mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

Ayat ini menggambarkan kerinduan semesta. Bahwa haji adalah panggilan, bukan sekadar rencana.

Renungan di Padang Arafah

Bayangkan ribuan manusia berdiri di bawah terik matahari, putih semua, tanpa atribut dunia. Tidak ada profesor, tidak ada pejabat, tidak ada miskin atau kaya. Semua menunggu, semua memohon. Di situ kita sadar, pulang sejati bukan ke rumah di kampung, tetapi pulang ke pengampunan Allah.

Seorang teman yang pulang haji pernah berkata:
“Rasanya seperti mati sebentar, lalu diberi kesempatan hidup kembali.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Langkah Praktis

Menghidupkan Semangat Haji Sehari-hari

  • Saat salat, hadirkan rasa tawaf: seolah mengelilingi pusat kehidupan.
  • Saat berzakat, ingat makna kurban: melepaskan ego, bukan sekadar harta.
  • Saat berpuasa, resapi makna wukuf: menahan diri, menunggu ridha Allah.

Haji bukan hanya di Mekkah, haji bisa kita rasakan di ruang batin sehari-hari.

Ilmu dan Riset Modern

Psikologi kontemporer menyebutkan bahwa ritual kolektif mampu memperkuat identitas spiritual. Penelitian tentang haji yang dimuat di Journal of Economic Behavior & Organization (2012) menemukan bahwa jamaah haji setelah kembali ke tanah air cenderung lebih toleran, lebih sosial, dan lebih dermawan. Ilmu membenarkan, bahwa haji memang “pulang” dengan jiwa yang diperbarui.

Renungan Singkat

Hidup ini ibarat ihram: kita tinggalkan pakaian dunia, lalu berjalan ringan menuju pertemuan.

Apakah kita sudah siap, jika tiba-tiba panggilan itu datang, bukan untuk haji, tetapi untuk pulang sejati?

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kembali dengan Wajah Baru

Seorang kawan, sepulang haji, tidak banyak bicara soal oleh-oleh. Ia malah lebih sering tersenyum, lebih mudah memaafkan, dan lebih jarang marah. Saya tanyakan, apa rahasianya?
Ia hanya menjawab, “Karena aku sudah pernah merasakan Arafah. Semua orang di situ sama. Jadi, kenapa aku harus merasa lebih dari orang lain?”

Jawaban itu menampar saya. Ternyata pulang sejati adalah pulang dengan hati yang baru.

Doa dan Simpul Hidup

Haji adalah latihan, agar nanti ketika kematian menjemput, kita sudah siap pulang. Dengan langkah ringan, dengan hati yang bersih, dengan senyum yang lega.

اللهم اجعل حجنا مبرورًا، وسعينا مشكورًا، وذنبنا مغفورًا
“Ya Allah, jadikanlah haji kami haji yang mabrur, usaha kami usaha yang Engkau syukuri, dan dosa kami Engkau ampuni.”

Maka, apakah kita berani mengaku sudah siap pulang, meski kaki kita belum menginjak tanah suci?

 

* Sugianto al-Jawi 

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement