Seberkas Cahaya di Balik Harta
Zakat sering dianggap sekadar “sedekah wajib”. Padahal, dalam ajaran Islam yang digali oleh Imam al-Ghazali dalam Kimiya’us Sa’adah, zakat adalah api penyelamat. Api neraka yang berkobar tak hanya karena dosa besar, melainkan juga karena keserakahan yang kita pelihara. Di balik setiap rupiah yang kita tahan ada hak orang lain yang menunggu.
Saya teringat percakapan sederhana dengan seorang tetangga. Ia seorang pedagang kecil, sering terlihat mengikat dagangan dengan kain lusuh. Suatu sore ia berkata pelan:
“Kalau bukan zakat orang-orang kaya, mungkin anak saya nggak bisa sekolah. Itu bukan cuma uang, tapi jalan hidup buat kami.”
Dari kalimat singkat itu, saya belajar bahwa zakat bukanlah pilihan kemurahan hati, melainkan tali pengikat keselamatan bersama.
Harta yang Menjerat atau Membebaskan?
Al-Qur’an memberi peringatan keras:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Ayat ini tidak sekadar mengancam, tetapi mengingatkan kita: kitalah yang bisa menjadikan harta sebagai belenggu jika enggan membagikannya. Imam al-Ghazali menekankan bahwa zakat membersihkan hati dari cinta dunia yang berlebihan. Ia bagaikan “detoks jiwa”, membebaskan manusia dari perasaan memiliki mutlak, dan menanamkan kesadaran bahwa harta hanyalah titipan.
Bisikan Sunyi di Tengah Malam
Kadang, pertanyaan itu datang mengganggu hati kita: untuk apa kita bekerja keras jika hasilnya hanya menumpuk angka di rekening?
Seorang sahabat saya, seorang profesional mapan, bercerita.
“Kadang aku merasa hampa, meski uang cukup. Tapi ketika bayar zakat dan lihat senyum orang-orang di panti asuhan, entah kenapa hati plong. Kaya itu bukan angka, tapi tenang atau tidaknya batin.”
Dialog ini menyadarkan saya bahwa zakat bukan transaksi finansial, melainkan terapi jiwa.
Zakat Sebagai Simpul Sosial
Dalam fenomena sosial, kita bisa melihat bagaimana ketimpangan memicu keresahan. Laporan World Inequality Lab (2022) menyebutkan, 10% orang terkaya menguasai lebih dari 60% kekayaan dunia. Di Indonesia, angka ketimpangan pun masih tinggi. Di titik inilah zakat hadir: bukan sekadar kewajiban individu, tapi mekanisme sosial untuk mengurai jurang kaya-miskin.
Bayangkan bila zakat benar-benar dikelola optimal. Ia bisa jadi bahan bakar pendidikan, kesehatan, bahkan kemandirian ekonomi umat. Ia bukan sekadar “amal”, tapi strategi peradaban.
Renungan Singkat
Zakat itu ibarat jembatan. Ia menghubungkan hati yang penuh syukur dengan hati yang penuh harap. Pertanyaannya: sudahkah kita menyeberanginya, atau masih berdiri di tepi, menunggu sampai terlambat?
Cahaya di Balik Hadits
Rasulullah ﷺ bersabda:
حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ
“Peliharalah harta-hartamu dengan zakat.” (HR. Thabrani)
Maknanya jelas: zakat bukan hanya mengurangi, tapi justru menjaga. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah tumbuh jadi keberkahan. Sementara yang ditahan bisa berubah jadi bara.
Bayangan Sehari-hari
Kita sering tergoda menyamakan zakat dengan sedekah. Padahal bedanya nyata. Sedekah bisa sukarela, zakat wajib. Sedekah bisa kapan saja, zakat ada nisab dan haul. Dalam bahasa Cak Nun, sedekah itu mungkin bunga di halaman, tapi zakat adalah pondasi rumah. Tanpanya, bangunan kehidupan akan retak.
Pernah suatu kali saya melihat seorang bapak tua menerima zakat fitrah. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia berbisik, “Alhamdulillah, rejeki ini bikin saya bisa masak buat cucu.” Momen sederhana itu menusuk, karena saya sadar: zakat yang mungkin kecil bagi pemberi, bisa jadi nyala api kehidupan bagi penerima.
Langkah Praktis
- Kenali harta yang wajib dizakati: emas, perak, uang, hasil pertanian, ternak, hingga usaha.
- Hitung dengan teliti: jangan menunggu lebih kaya untuk taat.
- Salurkan melalui lembaga amanah agar tepat sasaran dan memberi dampak.
- Lakukan dengan hati: niatkan sebagai pembersih jiwa, bukan sekadar formalitas.
Menyentuh Langit dari Tanah
Zakat mengajarkan bahwa perjalanan spiritual tidak hanya lewat sajadah, tapi juga lewat dompet. Menyentuh langit bukan hanya dengan doa, tapi juga dengan berbagi. Dari bumi yang kita pijak, ada cahaya yang bisa kita pancarkan, yang akan kembali sebagai rahmat.
Pada akhirnya, zakat itu bukan sekadar pengeluaran wajib. Ia adalah pesan cinta dari Allah: bahwa keselamatan kita tidak ditentukan seberapa kuat kita menggenggam, tapi seberapa ikhlas kita melepaskan.
Penutup
Semoga kita semua diberikan kelapangan hati untuk menunaikan zakat bukan sekadar karena kewajiban, tetapi sebagai jembatan menuju keselamatan akhirat. Bukankah hidup ini singkat, sementara api akhirat begitu panjang?
Maka mari kita tanyakan pada diri masing-masing: apakah harta yang kita kumpulkan sedang menyelamatkan kita, atau justru menjerumuskan?
اللهم اجعلنا من الذين يزكون أموالهم ويطهرون قلوبهم بنورك
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
