Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Puasa Menahan Lapar atau Membebaskan Jiwa?

Puasa Menahan Lapar atau Membebaskan Jiwa?

Ilustrasi filosofis puasa membebaskan jiwa.
Seorang muslim menemukan cahaya batin dari puasa, melampaui lapar fisik.

Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, puasa adalah sebuah perjalanan spiritual yang menyingkap tabir diri, membebaskan jiwa dari jeratan nafsu, dan menyalakan cahaya kesadaran dalam hati. Dalam kitab Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menyebut puasa sebagai jalan pembersihan yang lebih dalam daripada sekadar praktik fisik. Ia menyentuh inti batin, memerdekakan manusia dari perbudakan hawa nafsu.

Aku masih ingat, suatu Ramadhan di perantauan. Di tengah hiruk pikuk kota, aku duduk sendiri berbuka dengan sepotong roti dan segelas air. Saat itu aku tersadar: rasa lapar ini ternyata mengajarkan lebih banyak daripada sekadar kekurangan energi. Ia mempertemukan aku dengan orang-orang yang sehari-harinya memang hidup dalam kekurangan. Di sanalah aku belajar, puasa adalah jendela empati.

Lapar yang Mengajarkan Peka

Di balik perut yang kosong, ada pelajaran peka. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan batil, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)

Makna hadits ini menegaskan, puasa bukan hanya ritual menahan lapar. Jika lidah masih menebar kebohongan, mata masih liar, dan hati masih kotor, maka jiwa tak pernah benar-benar berpuasa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Sunyi yang Menjadi Jalan Pulang

Ada momen ketika kita duduk sendiri di waktu sore Ramadhan. Rasa lapar mendesak, dahaga kering, namun dalam kesunyiannya kita menemukan ruang pulang. Imam al-Ghazali menulis, “Puasa adalah setengah dari kesabaran.” Dalam kesabaran itulah jiwa dilatih untuk kembali mengingat siapa yang benar-benar memberi rezeki.

Seorang teman pernah berkata kepadaku:
“Saat perut kosong, pikiranku justru jernih. Aku merasa dekat dengan Allah.”
Aku hanya tersenyum, sebab aku pun merasakannya. Ada cahaya yang lahir dari sunyi, sebuah ruang hening yang membuat hati lebih ringan.

Nafsu yang Tak Lagi Menjadi Tuan

Puasa ibarat kunci yang menahan pintu nafsu agar tidak liar. Modernitas membuat kita terbiasa memuaskan keinginan dengan cepat: pesan makanan lewat aplikasi, beli barang dengan satu klik, atau scrolling media tanpa jeda. Semua itu sering menjadikan nafsu sebagai tuan, dan diri kita hanyalah budak.

Puasa datang untuk membalik keadaan: kita menjadi tuan atas nafsu, bukan sebaliknya. Di sinilah letak pembebasan jiwa. Riset dalam Frontiers in Psychology (2021) menunjukkan bahwa praktik puasa dapat meningkatkan kontrol diri dan kesadaran penuh (mindfulness). Artinya, puasa bukan hanya ibadah, tapi juga latihan psikologis yang sehat.

Renungan Singkat

Jika lapar bisa menajamkan rasa, apakah kenyang terus-menerus membuat kita kehilangan arah?
Jika puasa membebaskan jiwa, mungkinkah kita masih terpenjara meski sudah berbuka?

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Puasa sebagai Jembatan Sosial

Fenomena sosial Ramadhan menunjukkan sesuatu yang menarik: orang-orang jadi lebih peduli, masjid lebih ramai, dan sedekah lebih deras mengalir. Lapar ternyata punya kekuatan menyatukan. Kita merasakan kesamaan nasib dengan orang lain yang kurang beruntung.

Al-Qur’an menegaskan tujuan ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Takwa dalam ayat ini bukan hanya kesalehan personal. Ia juga berarti kepedulian sosial. Rasa lapar mengikat kita dengan saudara-saudara yang setiap hari berjuang demi sesuap nasi.

Langkah Praktis

  1. Saat sahur dan berbuka, sisihkan sebagian untuk orang lain.
  2. Gunakan rasa lapar sebagai alarm untuk mengingatkan diri agar lebih sabar.
  3. Matikan sejenak gadget, lalu dengarkan suara hati saat perut kosong.
  4. Renungkan: setelah Ramadhan, adakah jiwa yang benar-benar merdeka?

Membebaskan Jiwa dari Penjara Duniawi

Akhirnya, puasa membawa kita pada satu kesadaran: hidup ini bukan sekadar memenuhi perut, melainkan memenuhi jiwa. Menahan lapar hanyalah permulaan, sementara membebaskan jiwa adalah tujuan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Seperti seseorang yang berdiri di tepi sungai deras. Ia bisa hanyut bersama arus dunia, atau ia bisa menahan diri, menyeberang dengan penuh kesadaran. Puasa adalah jembatan itu: sederhana, sunyi, namun kokoh.

Penutup: Doa di Ujung Lapar

Ramadhan memberi kita ruang untuk merasakan lapar yang memerdekakan. Lapar yang mengajarkan peka, sunyi yang membawa pulang, dan nafsu yang tak lagi berkuasa. Semoga puasa kita tak berhenti di meja makan, tapi benar-benar sampai ke langit hati.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامَنَا صِيَامًا يُنقِي قُلُوبَنَا، وَيُحَرِّرُ أَرْوَاحَنَا، وَيُقَرِّبُنَا إِلَيْكَ
“Ya Allah, jadikanlah puasa kami sebagai puasa yang membersihkan hati, membebaskan jiwa, dan mendekatkan kami kepada-Mu.”

Apakah setelah Ramadhan ini, kita masih sekadar menahan lapar, atau sudah benar-benar membebaskan jiwa?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement