Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Shalat Jangan Cuma Menyentuh Lantai, Sentuhlah Langit

Shalat Jangan Cuma Menyentuh Lantai, Sentuhlah Langit

Seorang muslim sujud dengan cahaya mengalir ke langit, melambangkan shalat yang menyentuh langit.
Lukisan realistis nyeni seorang muslim sujud di sajadah, sementara dari sujudnya terpancar cahaya ke langit, melambangkan hubungan bumi dan langit.

Shalat jangan cuma menyentuh lantai, sentuhlah langit. Kalimat ini terasa seperti paradoks, tapi justru di sanalah letak rahasia yang Imam al-Ghazali uraikan dalam Kimiya’us Sa’adah. Shalat bukan sekadar gerakan tubuh, bukan hanya dahi yang menyentuh sajadah, melainkan perjalanan ruhani yang menghubungkan manusia dengan Allah. Banyak dari kita melaksanakan shalat lima waktu, namun berapa sering ia benar-benar menjadi jembatan yang mengangkat hati kita ke langit makna?

Rasa yang Menghidupkan Gerakan

Saya pernah mengamati seorang anak kecil yang ikut shalat di samping ayahnya. Gerakannya masih kaku, sujudnya terkadang lebih lama karena ia sambil bermain dengan ujung sajadah. Tapi ada ketulusan polos di wajahnya. Dari situ saya menyadari, mungkin seringkali kita shalat dengan gerakan sempurna, namun kehilangan rasa yang membuatnya hidup. Shalat seharusnya bukan hanya kewajiban fisik, tapi juga bisikan hati yang penuh cinta.

Allah berfirman:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama shalat adalah dzikrullah, mengingat Allah. Jika hanya gerakan tanpa ingatan, shalat berhenti di lantai, tidak sampai ke langit.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Antara Rutinitas dan Kehadiran Hati

Fenomena sosial hari ini menunjukkan betapa mudahnya shalat tergelincir menjadi sekadar rutinitas. Kita menyaksikan banyak orang yang menjalankannya dengan tergesa—di kantor, di pusat perbelanjaan, bahkan di pinggir jalan. Gerakannya cepat, doanya terburu-buru, lalu selesai begitu saja, seakan hanya menggugurkan kewajiban.

Di tengah kegelisahan itu, seorang sahabat saya pernah berkata di warung kopi, dengan nada lirih namun tajam:

A: “Aku shalat tepat waktu, tapi kenapa hatiku tetap gelisah?”
B: “Mungkin kau baru menggerakkan badanmu, belum menenangkan jiwamu.”

Dialog itu sederhana, tapi menyimpan makna yang dalam. Ia mengingatkan bahwa shalat bisa saja dilakukan secara fisik—gerakan dan bacaan terpenuhi—namun hati kita tidak benar-benar hadir di dalamnya. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali pernah menulis bahwa shalat sejatinya adalah latihan untuk menghadirkan kesadaran. Tanpa kehadiran hati dan pikiran, shalat hanyalah menjadi ritual kosong, tanpa ruh yang menghidupinya.

Saat Sujud Menjadi Puncak Kedekatan

Rasulullah ﷺ bersabda:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
“Posisi terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim)

Hadis ini bukan sekadar anjuran memperbanyak doa saat sujud. Ia mengajarkan bahwa sujud adalah simbol ketundukan total. Dahi kita menyentuh bumi, tapi ruh kita justru mendaki langit. Gerakan yang paling rendah justru membuka jalan menuju yang Maha Tinggi.

Renungan Singkat

Bayangkan jika setiap shalat menjadi jeda untuk meletakkan seluruh beban. Saat sujud, kita lepaskan kesombongan, kegelisahan, bahkan ambisi duniawi. Dari penelitian psikologi spiritual (Koenig, 2012), praktik doa dan ibadah teratur terbukti menurunkan tingkat stres serta meningkatkan rasa syukur. Sains mengakui, ibadah yang dilakukan dengan hati menghadirkan kedamaian batin.

Langkah Praktis

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

  • Sebelum shalat, tarik napas dalam-dalam. Hadirkan kesadaran bahwa kita akan berjumpa dengan Allah.
  • Bacalah ayat dengan perlahan. Resapi makna, jangan sekadar melafalkan.
  • Saat sujud, panjangkan doa. Ceritakan kegelisahan, syukur, dan harapan kepada-Nya.
  • Jadikan shalat bukan beban, melainkan ruang pertemuan.

Jejak yang Tertinggal Setelah Salam

Saya pernah bertemu seorang nenek di masjid desa. Shalatnya lama, suaranya lirih, tapi setelah salam wajahnya tenang sekali. Orang-orang bilang, siapa pun yang mendekatinya selalu merasa damai. Dari beliau saya belajar: shalat yang benar tidak hanya selesai di sajadah, tapi meninggalkan jejak pada perilaku. Salam yang diucapkan di akhir shalat seharusnya berlanjut menjadi salam kedamaian dalam kehidupan sosial.

Jalan Menuju Langit

Shalat jangan cuma menyentuh lantai. Ia harus menyentuh langit, menyatukan bumi dan langit dalam satu gerakan cinta. Imam al-Ghazali menegaskan, shalat adalah kunci kebahagiaan sejati karena ia menghidupkan hati sekaligus menenangkan jiwa. Pertanyaannya, apakah kita sudah menjadikan shalat sebagai pertemuan, atau masih sebatas rutinitas?

Semoga Allah menjadikan setiap shalat kita bukan hanya kewajiban, tapi juga cahaya yang menuntun langkah menuju rahmat-Nya. آمين.

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement