Di jalanan yang riuh oleh orasi dan lautan manusia, kita diajak menemukan laku hening di tengah demo, merasakan hening batin saat demo, hingga menjumpai ketenangan jiwa dalam keramaian. Sebab, spiritualitas demo damaitidak hanya lahir dari teriakan dan spanduk, melainkan juga dari kontemplasi di tengah demonstrasi. Inilah jalan sunyi di tengah orasi yang menuntun kita untuk tetap menjaga hati di tengah keramaian.
Hening: Kekosongan yang Penuh
Hening sering disalahpahami sebagai sikap diam yang tidak peduli. Padahal, dalam tradisi spiritual Jawa, hening adalah pintu menuju kesadaran. Manembah tanpa kata, semedi tanpa suara, adalah laku untuk menata batin. Dalam keramaian demo, di mana emosi mudah meledak, hening justru menjadi kekuatan untuk tetap waras.
Bayangkan lautan manusia dengan suara yang bergelombang seperti ombak. Di sana, ada yang berteriak lantang, ada yang menyanyikan lagu perjuangan, ada pula yang sekadar berdiri dengan wajah serius. Namun, di antara mereka, mungkin ada satu orang yang memilih diam, menundukkan kepala, menghela napas dalam-dalam, dan berdoa dalam hati. Itulah hening yang sejati—sebuah kekosongan yang justru penuh makna.
Suara dan Sunyi: Dua Sayap Perubahan
Orasi memang penting. Ia adalah teriakan kolektif yang menggetarkan dinding kekuasaan. Tetapi, orasi tanpa hening hanya menjadi letupan sesaat. Sebaliknya, hening tanpa orasi hanya menjadi doa yang tidak terdengar. Maka, keduanya perlu berjalan beriringan.
Dalam falsafah Jawa dikenal istilah “alon-alon waton kelakon”. Artinya, pelan-pelan asal sampai tujuan. Hening adalah napas yang memelihara daya tahan, agar perjuangan tidak sekadar ledakan, tetapi perjalanan panjang. Sunyi memberi arah, suara memberi tenaga. Jika keduanya bersatu, demonstrasi menjadi gerakan yang matang: keras pada ketidakadilan, tetapi lembut dalam menjaga kemanusiaan.
Hening dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sendiri memberi teladan tentang bagaimana menghadapi keramaian dengan hati yang teduh. Allah berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang bodoh menyapa mereka, mereka berkata: ‘Salam.’” (QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini menegaskan: di tengah hiruk pikuk, seorang hamba tetap menjaga kelembutan. Ia tidak terbawa arus kemarahan, tetapi menjawab dengan salam. Inilah esensi hening: tidak memadamkan suara, melainkan menyalurkannya dengan kebijaksanaan.
Hening sebagai Perlawanan
Menariknya, hening juga bisa menjadi bentuk perlawanan. Dalam sejarah, banyak tokoh yang memilih diam sebagai simbol kekuatan. Diam yang penuh makna bisa lebih menusuk dibanding seribu kata. Ketika seseorang memilih duduk tenang di tengah kerumunan, ia sedang menegaskan keberanian untuk tidak larut dalam arus.
Hening bukan kepasrahan, tetapi kontrol diri. Di tengah demo yang penuh potensi gesekan, hening bisa mencegah amarah meluber menjadi kekerasan. Ia adalah pagar jiwa agar perjuangan tetap pada jalurnya: menuntut keadilan tanpa kehilangan kemanusiaan.
Jalan Sunyi dalam Budaya Jawa
Dalam laku kejawen, ada istilah “sepi ing pamrih, rame ing gawe.” Sepi pamrih berarti meniadakan kepentingan pribadi, rame ing gawe berarti sibuk berbuat untuk kebaikan bersama. Itulah jalan sunyi yang seharusnya juga hadir di tengah demo.
Jalan sunyi bukan berarti menyepi di gunung, melainkan menjaga hati tetap bersih di tengah keramaian. Seperti petani yang bekerja tanpa banyak bicara, tetapi hasilnya memberi makan banyak orang. Seperti dalang yang menyalakan lakon, tetapi dirinya tersembunyi di balik kelir.
Kedamaian di Tengah Keramaian
Demo adalah ruang ekspresi rakyat. Namun, kedamaian harus tetap menjadi tujuan. Hening membantu kita untuk tidak terjebak dalam euforia massa. Ia menuntun agar setiap langkah di jalan raya tetap menjadi jalan sunyi menuju keadilan.
Seorang demonstran sejati bukan hanya yang berani berteriak, tetapi juga yang mampu mendengar suara batinnya. Ia sadar bahwa setiap teriakan adalah doa, setiap langkah adalah ibadah. Dan doa yang lahir dari hati yang hening lebih didengar langit daripada teriakan yang penuh amarah.
Penutup
Maka, ketika ribuan orang turun ke jalan dengan bendera dan orasi, jangan lupa: di antara hiruk pikuk itu, ada jalan sunyi yang menunggu untuk dilalui. Jalan sunyi yang menuntun pada kedewasaan batin, pada kesadaran bahwa perubahan sejati lahir bukan dari amarah, melainkan dari hening yang memberi arah.
Di tengah teriakan, temukanlah hening. Karena dari sanalah kedamaian lahir, dan perjuangan menemukan maknanya.
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
