Fiqih
Beranda » Berita » Membedah Perbedaan Hukum Waris Islam dan Hukum Nasional

Membedah Perbedaan Hukum Waris Islam dan Hukum Nasional

Membedah Perbedaan Hukum Waris Islam dan Hukum Nasional
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Hukum waris Islam di Indonesia selalu menjadi persoalan penting karena menyangkut harta benda, rasa keadilan, serta keharmonisan keluarga. Selain itu, isu warisan juga berkaitan erat dengan kepastian hukum. Karena Indonesia menganut pluralisme hukum, maka keluarga dapat memilih hukum waris Islam, KUHPerdata, atau hukum adat. Akibatnya, perbedaan pilihan hukum sering menimbulkan kebingungan dan memicu konflik ketika para ahli waris berpegang pada aturan berbeda.

Di sisi lain, pluralisme hukum juga mempertegas adanya dilema. Sebagian masyarakat memilih hukum Islam karena keyakinan agama. Sebagian lain menggunakan KUHPerdata karena prinsip kesetaraan. Bahkan, ada pula yang mengikuti hukum adat demi menjaga tradisi keluarga. Oleh karena itu, perbedaan pandangan sering menimbulkan pertentangan yang sulit diatasi keluarga.

 

Landasan Hukum Waris Islam di Indonesia

Hukum waris Islam bersumber dari wahyu. Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11 menjelaskan secara rinci bagian anak laki-laki dan perempuan:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” (QS An-Nisa: 11).

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Selain itu, negara mengatur hukum waris Islam melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena itu, KHI menjadi pedoman utama bagi Pengadilan Agama. Beberapa ketentuannya antara lain:

  • Pasal 176: anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dibanding anak perempuan.

  • Pasal 185: cucu dapat menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah wafat.

  • Pasal 195: pewaris hanya boleh berwasiat maksimal 1/3 dari harta peninggalan.

Kemudian, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 menegaskan kewenangan Pengadilan Agama. Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa waris bagi umat Islam. Oleh sebab itu, umat Muslim umumnya memilih jalur ini ketika sengketa terjadi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

 

Landasan Hukum Waris Nasional

Berbeda dengan hukum Islam, hukum nasional mengikuti KUHPerdata peninggalan Belanda yang menekankan kesetaraan penuh.

Beberapa pasalnya antara lain:

Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum yang adil. Karena itu, masyarakat menganggap KUHPerdata lebih sejalan dengan semangat kesetaraan dan nondiskriminasi dalam hukum modern.

 

Perbedaan Utama Hukum Waris Islam dan Nasional

Jika kita menganalisis, maka perbedaan keduanya tampak dari empat aspek.

  • Sumber hukum

    • Islam bersumber dari Al-Qur’an, hadis, serta ijma’ ulama.

    • KUHPerdata bersumber dari hukum Barat yang bersifat sekuler.

  • Pembagian harta

    • Islam membedakan bagian anak laki-laki dan perempuan karena tanggung jawab nafkah berada pada laki-laki.

    • KUHPerdata menyamakan hak semua anak, tanpa membedakan gender.

  • Wasiat

    • Islam membatasi maksimal 1/3 harta.

    • KUHPerdata memperbolehkan lebih luas, asalkan hak legitieme portie tidak terganggu.

  • Ahli waris pengganti

    • Islam mengenal konsep ahli waris pengganti, misalnya cucu.

    • KUHPerdata mengenal konsep serupa dengan istilah plaatsvervulling.

 

Contoh Kasus dan Putusan Pengadilan

Misalnya, seorang ayah meninggalkan istri, satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan, dengan harta Rp800 juta.

  • Menurut hukum Islam: istri mendapat 1/8 (Rp100 juta). Sisa Rp700 juta dibagi 2:1, sehingga anak laki-laki memperoleh Rp466 juta dan anak perempuan Rp234 juta.

  • Menurut KUHPerdata: ketiganya memperoleh bagian sama, yakni Rp266 juta.

Karena hasil pembagian berbeda, maka sering muncul sengketa. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995 menegaskan bahwa waris umat Islam harus dibagi sesuai hukum Islam. Namun, Putusan MA No. 1794 K/Pdt/2004 memperlihatkan adanya ahli waris Muslim yang justru menggugat melalui Pengadilan Negeri agar memperoleh pembagian setara menurut KUHPerdata.

Kedua putusan tersebut menunjukkan praktik forum shopping, yakni upaya pihak tertentu memilih jalur hukum yang mereka anggap lebih menguntungkan. Karena itu, pluralisme hukum di Indonesia tidak hanya membuka ruang fleksibilitas, tetapi juga menimbulkan potensi konflik baru.

 

Implikasi bagi Masyarakat Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering menyelesaikan persoalan waris melalui musyawarah. Bahkan, ada keluarga Muslim yang memilih pembagian sama rata demi menjaga keharmonisan. Sebaliknya, ada pula keluarga yang menegakkan hukum Islam secara ketat karena mereka menilai aturan Allah lebih adil daripada hukum manusia.

Selain itu, negara menghadapi dilema. Di satu sisi, hukum Islam bersifat qat’i dan mengikat seluruh Muslim untuk mengikutinya. Di sisi lain, KUHPerdata menekankan prinsip kesetaraan yang lebih dekat dengan semangat hak asasi manusia. Oleh karena itu, pluralisme hukum di Indonesia membutuhkan konsistensi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement