Politik seringkali mendapat citra negatif. Banyak orang menganggapnya sebagai arena perebutan kekuasaan yang kotor. Praktik korupsi, kebohongan, dan pengkhianatan seolah menjadi hal biasa. Namun, Islam memandang politik secara berbeda. Ia bukanlah tujuan, melainkan sarana mulia untuk mencapai kebaikan bersama. Al-Qur’an menawarkan sebuah kerangka kerja luhur. Kerangka ini dikenal sebagai etika politik Al-Qur’an.
Penting untuk ditegaskan, prinsip-prinsip ini bukanlah sekadar teori usang. Sebaliknya, ia merupakan panduan abadi yang relevan sepanjang masa. Adapun tujuannya sangatlah jelas, yaitu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. Oleh karena itu, dengan memahami nilai-nilai luhur ini, kita dapat melihat politik dari sudut pandang yang lebih jernih dan konstruktif. Untuk memahaminya lebih dalam, berikut adalah pilar-pilar utama etika politik yang diajarkan langsung dari kitab suci Al-Qur’an.
1. Keadilan (Al-‘Adl) sebagai Fondasi Utama
Keadilan adalah pilar utama dalam politik Islam. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan para pemimpin untuk berlaku adil. Keadilan ini harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau benci. Keputusan harus didasarkan pada kebenaran hakiki.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa…” (Q.S. Al-Ma’idah: 8).
Ayat ini menunjukkan standar keadilan yang sangat tinggi. Secara lebih rinci, seorang pemimpin sama sekali tidak boleh menzalimi lawan politiknya. Di saat yang sama, ia juga dilarang keras untuk memberikan keistimewaan kepada para pendukungnya. Pada intinya, hukum harus berlaku sama untuk semua orang, tanpa terkecuali.
2. Menjaga Amanah dan Tanggung Jawab
Pada hakikatnya, kekuasaan dalam Islam adalah sebuah amanah. Artinya, ia merupakan kepercayaan atau titipan berharga dari Allah SWT dan rakyat. Konsekuensinya, seorang pemimpin hanyalah pemegang mandat. Maka dari itu, ia mutlak harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Jelas sekali, setiap penyalahgunaan kekuasaan adalah bentuk pengkhianatan besar.
Al-Qur’an menegaskan kewajiban ini:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (Q.S. An-Nisa: 58).
Prinsip amanah menuntut transparansi dan akuntabilitas. Pemimpin harus menggunakan wewenangnya untuk melayani publik. Bukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Setiap kebijakan harus bertujuan untuk kemaslahatan umum.
3. Pentingnya Musyawarah (Asy-Syura)
Etika politik Al-Qur’an sangat menentang gaya kepemimpinan otoriter. Al-Qur’an memperkenalkan prinsip syura atau musyawarah. Artinya, keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diambil melalui dialog. Pemimpin wajib mendengarkan aspirasi dan nasihat dari rakyat atau perwakilannya.
Prinsip ini tercantum jelas dalam firman-Nya:
“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” (Q.S. Asy-Syura: 38).
Syura memastikan adanya partisipasi publik dalam pemerintahan. Mekanisme ini mencegah lahirnya kebijakan yang merugikan rakyat. Keputusan yang lahir dari musyawarah cenderung lebih bijaksana. Hal ini karena ia mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
4. Kesetaraan (Al-Musawah) di Hadapan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua manusia pada dasarnya setara. Kemuliaan seseorang hanya diukur dari tingkat ketakwaannya. Prinsip ini berimplikasi langsung pada dunia politik. Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan suku, ras, warna kulit, atau status sosial. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Allah SWT berfirman:
“…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
Dalam konteks politik, kesetaraan berarti tidak ada yang kebal hukum. Dengan kata lain, seorang pejabat atau bahkan kerabatnya harus diadili dengan cara yang sama seperti rakyat biasa jika melakukan kesalahan. Pada hakikatnya, keadilan sejati tidak pernah mengenal status ataupun jabatan.
5. Menepati Janji dan Perjanjian (Al-‘Ahd)
Rakyat mengukur integritas seorang pemimpin dari kemampuannya menepati janji. Dalam politik, janji membangun sebuah kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Karena itu, Al-Qur’an memberikan peringatan keras agar setiap orang memenuhi janjinya. Pada akhirnya, seorang pemimpin harus mempertanggungjawabkan setiap janji yang ia ucapkan.
Perintah ini sangat jelas:
“…dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Isra: 34).
Janji kampanye sama sekali bukanlah sekadar retorika untuk meraih suara. Sebaliknya, ia adalah sebuah komitmen nyata yang harus direalisasikan saat berkuasa. Lebih lanjut, prinsip ini juga berlaku untuk perjanjian internasional atau kesepakatan politik lainnya. Pada akhirnya, mengingkari janji-janji tersebut sudah pasti akan merusak kepercayaan publik.
Kesimpulan: Politik yang Melayani Umat
Keadilan, amanah, syura, kesetaraan, dan menepati janji adalah pilar-pilar utama etika politik Al-Qur’an. Prinsip-prinsip ini membentuk sebuah sistem yang bertujuan luhur. Ia mengarahkan politik untuk menjadi alat dalam menegakkan kebenaran dan mensejahterakan umat manusia.
Jika nilai-nilai ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, citra politik yang kotor pasti akan terkikis. Politik akan kembali pada fitrahnya sebagai seni mengelola urusan publik demi kebaikan bersama. Inilah panduan abadi dari Al-Qur’an untuk membangun peradaban yang adil dan bermartabat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
