Manusia sering kali merasakan sebuah “bisikan hati”. Pemahaman ini datang begitu saja. Ia muncul tanpa proses analisis data yang rumit. Fenomena ini kita kenal sebagai intuisi. Ternyata, Islam memiliki pandangan mendalam tentang hal ini. Islam tidak menolak keberadaan intuisi. Sebaliknya, Islam menempatkannya sebagai salah satu anugerah ilahi. Anugerah ini diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Lalu, bagaimana sebenarnya intuisi dalam pandangan Islam? Apakah ia setara dengan wahyu? Bagaimana kita bisa membedakannya dari sekadar prasangka atau bisikan setan? Mari kita telaah lebih jauh.
Mengenal Istilah Intuisi dalam Khazanah Islam
Dalam tradisi intelektual Islam, intuisi memiliki beberapa istilah. Setiap istilah punya makna yang saling melengkapi. Beberapa di antaranya adalah firāsa (firasat), ilham (ilham), dan hads (intuisi). Semuanya merujuk pada pengetahuan langsung. Pengetahuan ini tidak melalui proses nalar atau logika formal. Ia datang dari Allah dan masuk ke dalam hati yang bersih.
Firāsa atau firasat adalah kemampuan seorang mukmin. Ia mampu melihat hakikat suatu perkara. Kemampuan ini berasal dari kedekatannya dengan Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda tentang kekuatan firasat ini.
“Hati-hatilah dengan firasat orang mukmin. Karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan sebuah koneksi spiritual. Hati seorang mukmin yang suci menjadi cermin. Ia dapat memantulkan cahaya petunjuk dari Tuhannya. Cahaya inilah yang membantunya memahami sesuatu secara mendalam.
Sumber Intuisi: Anugerah dari Sang Pencipta
Berbeda dengan pengetahuan rasional yang kita peroleh dari belajar. Intuisi bukanlah hasil dari pendidikan formal. Ia adalah karunia murni dari Allah SWT. Allah memberikannya kepada hamba yang Ia kehendaki. Biasanya, anugerah ini datang kepada mereka yang tekun beribadah. Mereka juga rajin membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs).
Proses penyucian jiwa ini sangat penting. Hati yang kotor penuh dosa akan sulit menerima cahaya ilahi. Sebaliknya, hati yang bersih dari maksiat akan lebih peka. Hati tersebut mampu menangkap sinyal-sinyal kebaikan dari Allah. Inilah mengapa para ulama dan orang-orang saleh sering kali memiliki firasat yang tajam.
Kisah Nyata Firasat Tajam Para Sahabat
Sejarah Islam mencatat banyak kisah menakjubkan. Kisah ini menunjukkan kekuatan intuisi para sahabat Nabi. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Umar bin Khattab RA.
Suatu hari, Umar sedang menyampaikan khotbah Jumat di Madinah. Di tengah khotbahnya, beliau tiba-tiba berteriak dengan lantang. “Wahai Sāriyah, berlindunglah ke gunung! Berlindunglah ke gunung!”
Para jamaah tentu merasa bingung. Sāriyah adalah nama komandan pasukan Muslim. Pasukannya sedang berperang di Nahawand, Persia. Jaraknya ribuan kilometer dari Madinah. Namun, beberapa waktu kemudian, utusan dari pasukan Sāriyah datang. Ia mengabarkan kemenangan kaum Muslimin. Utusan itu juga bercerita. Mereka hampir kalah karena diserang dari belakang. Tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan Umar. Suara itu memerintahkan mereka untuk berlindung di gunung. Mereka pun mengikuti perintah itu dan meraih kemenangan.
Kisah lain datang dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Menjelang wafatnya, beliau berwasiat tentang janin dalam kandungan istrinya. Beliau meyakini bahwa anak itu berjenis kelamin perempuan. Keyakinan itu terbukti benar setelah beliau wafat.
Membedakan Ilham Ilahi dan Bisikan Setan
Intuisi adalah anugerah. Namun, kita harus sangat berhati-hati. Hati manusia juga menjadi target bisikan setan (waswasah). Lantas, bagaimana cara membedakan ilham dari Allah dengan bisikan setan?
Para ulama memberikan panduan jelas.
-
Sumber Ketenangan: Ilham dari Allah akan membawa ketenangan jiwa. Ia membuat hati merasa mantap dan damai. Sebaliknya, bisikan setan menimbulkan rasa cemas, ragu, dan was-was.
-
Kesesuaian dengan Syariat: Intuisi yang benar tidak akan pernah bertentangan. Ia selalu sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jika sebuah “bisikan hati” menyuruh Anda melakukan maksiat, itu pasti dari setan.
-
Mendorong Kebaikan: Ilham ilahi selalu mengajak kepada kebaikan. Ia mendorong ketaatan, silaturahmi, dan perbuatan mulia. Sementara itu, bisikan setan menjerumuskan pada dosa dan permusuhan.
Kesimpulan: Intuisi Sebagai Pelengkap Akal dan Wahyu
Intuisi dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang terhormat. Ia adalah salah satu bukti kekuasaan Allah. Namun, posisinya adalah sebagai pelengkap. Ia bukan sumber hukum utama. Sumber utama bagi seorang Muslim adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Akal digunakan untuk memahami dalil dan menganalisis masalah. Intuisi hadir untuk memberikan pencerahan. Ia sering kali membantu di saat akal menemui jalan buntu. Dengan hati yang bersih dan iman yang kuat, seorang Muslim dapat menerima petunjuk ini. Ia dapat melihat dunia dengan cahaya dari Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
