Opinion
Beranda » Berita » Ancaman Kriminalisasi Ulama dan Bungkamnya Suara Moral

Ancaman Kriminalisasi Ulama dan Bungkamnya Suara Moral

Ilustrasi Kriminalisasi ulama

SURAU.CO – Fenomena kriminalisasi ulama telah menjadi isu sensitif. Isu ini terus menghangat dalam diskursus publik di Indonesia. Banyak pihak khawatir proses hukum yang menyasar tokoh agama bukanlah murni penegakan hukum. Sebaliknya, mereka melihatnya sebagai upaya sistematis untuk membungkam suara kritis. Akibatnya, bangsa ini berisiko kehilangan kompas moral yang sangat penting.

Memahami Konteks Kriminalisasi

Istilah “kriminalisasi ulama” seringkali memicu perdebatan sengit. Sebagian kalangan berpendapat bahwa semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum. Jika seorang ulama melakukan tindak pidana, maka aparat harus memprosesnya. Pandangan ini tentu memiliki dasar konstitusional yang kuat. Hukum tidak boleh pandang bulu.

Namun, kalangan lain melihat isu ini dari sudut pandang berbeda. Mereka menyoroti pola penjeratan hukum yang terkesan janggal. Seringkali, kasus hukum muncul setelah seorang ulama menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah. Oleh karena itu, publik menilai tuduhan hukumnya terkesan dipaksakan. Banyak pihak juga menganggap prosesnya berjalan sangat cepat, berbeda dengan kasus lain. Kondisi inilah yang melahirkan persepsi adanya target politik.

Peran Ulama sebagai Penjaga Moral Bangsa

Sejak dahulu, ulama memegang peran strategis dalam masyarakat Indonesia. Mereka bukan hanya pemimpin spiritual. Mereka juga bertindak sebagai penasihat, pendidik, dan penjaga nilai-nilai moral. Masyarakat sering menjadikan mereka rujukan ketika menghadapi kebingungan etis. Umat menganggap suara mereka mewakili nurani bersama.

Ketika masyarakat menganggap sebuah kebijakan publik tidak adil, ulama sering tampil di depan. Mereka menyuarakan keresahan masyarakat dengan landasan argumen keagamaan dan moral. Fungsi ini merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar atau menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan demikian, peran mereka menjadi penyeimbang kekuasaan yang efektif. Suara mereka menjadi pengingat bagi para penguasa agar tidak menyimpang.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Seorang pengamat hukum pernah menyatakan, “Ketika hukum digunakan untuk membungkam kritik, maka yang hilang bukan hanya kebebasan satu orang, melainkan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem peradilan.” Kutipan ini menyoroti betapa berbahayanya jika hukum kehilangan independensinya.

Dampak Serius Saat Suara Kritis Dibungkam

Apabila fenomena kriminalisasi ulama terus berlanjut, dampaknya bisa sangat merusak. Pertama, fenomena ini akan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Masyarakat akan memandang hukum bukan lagi sebagai alat keadilan. Sebaliknya, mereka akan melihatnya sebagai instrumen kekuasaan untuk menyingkirkan lawan politik.

Kedua, kondisi ini akan memunculkan ketakutan di kalangan tokoh masyarakat. Mereka menjadi enggan untuk menyampaikan kritik yang konstruktif. Padahal, kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Tanpa adanya suara-suara kritis, pemerintah bisa berjalan tanpa kontrol. Hal ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang yang lebih besar.

Selanjutnya, hilangnya suara moral dari para ulama akan menciptakan kekosongan. Masyarakat kehilangan salah satu rujukan utama mereka. Akibatnya, pragmatisme dan apatisme dapat merajalela. Standar moral publik berpotensi menurun drastis karena tidak ada lagi figur yang berani mengingatkan.

Menjaga Keadilan dan Demokrasi

Menghadapi isu ini membutuhkan kearifan dari semua pihak. Aparat penegak hukum harus menunjukkan profesionalisme dan transparansi. Mereka wajib menjalankan setiap proses hukum secara adil tanpa tekanan dari pihak manapun. Pembuktian harus berdasarkan fakta kuat, bukan sekadar asumsi atau pesanan politik.

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Di sisi lain, masyarakat juga perlu bersikap kritis namun tetap objektif. Penting untuk membedakan antara kritik yang membangun dengan ujaran kebencian. Para ulama pun memiliki tanggung jawab besar untuk menyampaikan dakwah secara bijak. Mereka harus menyuarakan kritik dalam koridor etika dan hukum.

Pada akhirnya, menjaga demokrasi Indonesia adalah tugas bersama. Kriminalisasi ulama, jika benar terjadi, adalah lonceng kematian bagi kebebasan berpendapat. Bangsa ini akan kehilangan suara moral yang menjaganya dari kerusakan. Oleh karena itu, kita semua harus memastikan hukum tetap menjadi panglima keadilan, bukan alat kekuasaan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement