SURAU.CO – Kemajuan teknologi merambah semua aspek kehidupan. Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini tidak lagi sebatas fiksi ilmiah. Sebaliknya, AI telah menjadi bagian dari rutinitas harian banyak orang. Ia membantu kita bekerja, belajar, bahkan berinteraksi. Namun, sebuah perdebatan menarik muncul saat teknologi ini memasuki ranah spiritual dan hukum agama. Pertanyaan mendasar pun timbul: bisakah AI memberikan fatwa dalam hukum Islam?
Perkembangan AI yang sangat pesat memang membuka pintu bagi kemungkinan tersebut. Saat ini, sudah ada berbagai platform yang menggunakan AI untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fikih dasar. Program-program ini mampu mengakses ribuan kitab dan dalil dalam hitungan detik. Kemudian, mereka menyajikan jawaban berdasarkan data yang telah dipelajari. Efisiensi dan kecepatan ini tentu sangat mengesankan.
Meskipun begitu, para ulama dan cendekiawan Muslim mengingatkan adanya perbedaan fundamental. Perbedaan itu terletak antara proses kompilasi data dengan proses ijtihad. Ijtihad merupakan pengerahan kemampuan seorang ahli hukum Islam (mujtahid) untuk menyimpulkan hukum syariat dari sumber-sumbernya. Proses ini jauh lebih kompleks daripada sekadar pengolahan data.
Syarat Ijtihad yang Tak Terpenuhi oleh AI
Dalam tradisi hukum Islam, seorang mujtahid harus memenuhi syarat yang sangat ketat. Ia wajib memiliki pemahaman mendalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, ia juga harus menguasai ilmu bahasa Arab, ushul fiqh, dan sejarah hukum Islam. Namun, ada syarat-syarat lain yang bersifat non-teknis dan mustahil dimiliki oleh mesin.
Pertama, ijtihad membutuhkan akal dan kesadaran penuh. Mesin AI bekerja berdasarkan algoritma dan data latih. Ia tidak memiliki kesadaran, niat, ataupun kemampuan untuk memahami makna di balik teks. Guru Besar Fikih dan Ushul Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. M. Amin Suma, menegaskan hal ini.
“Yang bisa berijtihad itu hanya manusia yang memiliki akal, bukan benda mati. AI itu kan benda mati yang tidak punya akal, ia hanya mesin pencari atau penjawab.”
Kutipan tersebut menggarisbawahi bahwa akal manusia adalah komponen sentral dalam ijtihad. Akal inilah yang memungkinkan seorang ulama menimbang berbagai dalil, memahami konteks, dan merasakan implikasi sosial dari sebuah fatwa.
Selanjutnya, ijtihad melibatkan dimensi spiritual atau dzauq. Dimensi ini adalah kepekaan batin seorang ulama yang terasah melalui ibadah dan ketakwaan. Kepekaan ini membantunya menangkap ruh atau semangat dari sebuah ajaran agama. AI, sebagai entitas non-biologis, tentu tidak memiliki kapasitas spiritual sama sekali. Ia tidak bisa merasakan ketakwaan atau memahami kedekatan dengan Tuhan.
Memahami Maqashid Syariah: Tujuan Luhur Hukum Islam
Aspek krusial lainnya adalah pemahaman terhadap Maqashid Syariah atau tujuan-tujuan luhur ditetapkannya hukum Islam. Hukum Islam tidak hanya bersifat tekstual. Setiap aturan memiliki tujuan mulia untuk melindungi lima hal pokok (al-kulliyat al-khams): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Seorang mujtahid harus mampu menyeimbangkan antara teks dalil dengan tujuan luhur tersebut. Ia perlu mempertimbangkan kemaslahatan umum dan mencegah kerusakan (mafsadah). Proses pertimbangan kompleks ini memerlukan kebijaksanaan dan pemahaman konteks yang dinamis. AI mungkin bisa mengidentifikasi kata “maslahat” dalam teks, tetapi ia tidak akan pernah benar-benar memahami esensinya dalam konteks kehidupan nyata.
Oleh karena itu, menyerahkan otoritas fatwa kepada AI sangat berisiko. Mesin bisa saja mengeluarkan jawaban yang secara tekstual benar, tetapi secara substansial keliru dan berbahaya. Tanpa pemahaman konteks dan tujuan hukum, fatwa yang dihasilkan bisa menjadi kaku dan tidak solutif.
Peran AI sebagai Alat Bantu, Bukan Pengambil Keputusan
Meskipun AI tidak dapat menggantikan peran ulama, teknologi ini tetap memiliki potensi besar. Kecerdasan Buatan dapat menjadi alat bantu yang sangat canggih bagi para mujtahid. Para ulama dapat memanfaatkannya untuk mempercepat proses penelitian.
Sebagai contoh, AI dapat membantu mengumpulkan semua ayat, hadis, dan pendapat ulama terdahulu terkait suatu masalah. Ia bisa menyajikannya secara sistematis dalam waktu singkat. Dengan demikian, AI berfungsi sebagai perpustakaan digital cerdas yang meringankan beban riset seorang ahli fikih. Hal ini memungkinkan para ulama untuk lebih fokus pada analisis, penalaran, dan perumusan hukum.
Pada akhirnya, keputusan dan tanggung jawab fatwa tetap berada di tangan manusia. Kecerdasan Buatan dan hukum Islam dapat berjalan beriringan, namun dengan pembagian peran yang jelas. Teknologi hadir untuk melayani manusia, bukan untuk mengambil alih otoritas spiritual dan intelektual yang telah menjadi warisan keilmuan Islam selama berabad-abad. Posisi ulama sebagai pewaris para nabi tetap tidak tergantikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
