SURAU.CO – Banyak orang sering salah memahami status pertunangan. Sebagian masyarakat menganggap tunangan sebagai “setengah menikah”. Akibatnya, pasangan tunangan merasa lebih bebas berinteraksi. Padahal, syariat Islam memandang hal ini secara jelas. Pertunangan atau khitbah memiliki batasan hukumnya sendiri. Setiap pasangan harus memahami ini sebelum menuju pernikahan.
Jadi, kapan seseorang resmi dianggap bertunangan? Dan apa saja konsekuensi hukum yang mengikutinya? Pertunangan adalah sebuah proses, bukan ikatan pernikahan. Pasangan harus melalui gerbang ini dengan penuh kehati-hatian. Syariat mengatur tahap ini untuk menjaga kehormatan kedua belah pihak.
Apa Sebenarnya Makna Khitbah (Pertunangan)?
Dalam istilah fiqih, para ulama menyebut pertunangan sebagai khitbah. Secara sederhana, khitbah adalah permintaan seorang laki-laki. Ia menyampaikan permintaan itu kepada seorang perempuan untuk menikahinya. Laki-laki itu bisa menyampaikannya langsung kepada si perempuan. Atau, ia bisa menyampaikannya melalui wali perempuan tersebut.
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir, mendefinisikan khitbah sebagai:
“Permintaan untuk menikahi perempuan tertentu.”
Definisi ini sangatlah penting. Kata kuncinya adalah “permintaan”. Khitbah hanyalah sebuah janji atau komitmen awal untuk menikah. Ia sama sekali bukan merupakan akad nikah. Oleh karena itu, status hukum pasangan tersebut belum berubah. Mereka belum menjadi suami istri yang sah di mata syariat.
Konsekuensi Hukum Setelah Lamaran Diterima
Meskipun bukan akad nikah, khitbah tetap membawa konsekuensi hukum. Ketika seorang laki-laki melamar seorang perempuan, dan pihak perempuan menerima lamarannya, maka status perempuan itu menjadi makhthubah. Artinya, ia adalah perempuan yang telah resmi dilamar.
Konsekuensi hukum utamanya adalah munculnya larangan bagi laki-laki lain. Laki-laki lain haram hukumnya untuk melamar perempuan tersebut. Syariat menetapkan larangan ini untuk menjaga keharmonisan. Aturan ini mencegah timbulnya perselisihan dan permusuhan. Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin untuk membeli di atas pembelian saudaranya. Dan tidak halal pula untuk melamar di atas lamaran saudaranya, kecuali jika ia telah meninggalkannya.”
Hadits ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga hak orang lain. Jika pihak perempuan sudah menerima lamaran pertama, maka pintu bagi pelamar lain tertutup. Pintu itu baru terbuka kembali jika laki-laki pertama membatalkan lamarannya. Atau, jika ia secara ikhlas memberikan izin kepada orang lain.
Batasan Interaksi bagi Pasangan Bertunangan
Inilah poin yang paling sering orang salahpahami. Meskipun telah bertunangan, status kedua pasangan tetaplah ajnabi. Artinya, mereka masih orang asing yang bukan mahram. Karena itu, semua batasan interaksi antara non-mahram tetap berlaku.
Syariat melarang mereka untuk berduaan di tempat sepi (khalwat). Mereka juga tidak boleh bersentuhan fisik, seperti berpegangan tangan. Syariat menetapkan batasan ini untuk menutup pintu fitnah. Sebab, pertunangan bukanlah jaminan mutlak akan terjadinya pernikahan. Ikatan ini masih bisa putus di tengah jalan.
Syariat ingin menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan jika perpisahan terjadi. Terutama dalam hal kehormatan pihak perempuan. Interaksi yang syariat bolehkan sebatas komunikasi yang wajar. Tujuannya agar mereka bisa saling mengenal lebih dalam. Namun, proses ini harus tetap berada dalam koridor syariat dan sepengetahuan wali.
Janji Mulia, Bukan Ikatan Sah
Pada akhirnya, kita dapat menarik kesimpulan yang jelas. Seseorang resmi bertunangan ketika pihak perempuan menerima lamarannya. Konsekuensi hukumnya adalah laki-laki lain haram untuk melamarnya.
Namun, status pertunangan tidak mengubah hukum interaksi pasangan. Mereka tetap bukan mahram. Karena itu, mereka wajib menjaga batasan-batasan syariat. Memahami hal ini akan membawa keberkahan dalam proses menuju pernikahan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
