SURAU.CO – Banyak orang sering bertanya tentang hukum waris Islam atau ilmu faraid. Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah, mengapa bagian warisan anak laki-laki dua kali lipat lebih besar dari anak perempuan? Sebagian orang mungkin keliru melihatnya sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, syariat Islam memiliki alasan yang sangat adil dan rasional di balik ketentuan ini.
Ketentuan ini bersumber langsung dari Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 11:
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Ayat ini adalah fondasi hukumnya. Namun, kita tidak bisa memahaminya secara terpisah. Aturan ini terhubung sangat erat dengan sistem kewajiban finansial dalam Islam. Syekh Ali As-Shabuni dalam kitab Rawai’ul Bayan menjelaskan beberapa alasan logisnya. Intinya, pembagian ini bukan tentang keistimewaan gender, melainkan tentang keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.
Berikut adalah lima alasan rasional di baliknya.
1. Laki-laki Wajib Memberi Mahar Saat Menikah
Alasan pertama berkaitan erat dengan pernikahan. Dalam syariat Islam, seorang laki-laki wajib memberikan mahar atau maskawin kepada calon istrinya. Mahar ini sepenuhnya menjadi hak milik perempuan. Oleh karena itu, ia bebas menggunakan mahar tersebut untuk keperluan apa pun. Sebaliknya, perempuan tidak memiliki kewajiban finansial apa pun untuk memulai pernikahan. Beban ini sepenuhnya berada di pundak laki-laki.
2. Laki-laki Wajib Menafkahi Seluruh Keluarga
Setelah menikah, tanggung jawab finansial seorang laki-laki terus berlanjut. Islam mewajibkannya untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya, terutama istri dan anak-anaknya. Nafkah ini mencakup semua kebutuhan primer, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, hingga biaya pendidikan. Dengan demikian, harta warisan yang ia terima akan ia gunakan untuk memenuhi tanggung jawab besar ini.
Berbeda dengan laki-laki, seorang perempuan tidak memiliki kewajiban ini sama sekali. Harta yang ia miliki, baik dari warisan maupun usahanya sendiri, adalah hak pribadinya. Ia tidak wajib menggunakan hartanya untuk menafkahi keluarga, dan suaminya pun tidak boleh mengambil harta itu tanpa izinnya.
3. Laki-laki Wajib Menafkahi Kerabat yang Membutuhkan
Selain keluarga inti, tanggung jawab finansial seorang laki-laki juga meluas ke kerabat dekatnya. Apabila orang tuanya, saudara perempuannya, atau kerabat lain berada dalam kesulitan ekonomi, maka ia wajib membantu mereka. Kewajiban sosial ini tidak syariat bebankan kepada perempuan dalam keluarga tersebut.
4. Laki-laki Menanggung Diyat (Uang Darah)
Selanjutnya, dalam hukum pidana Islam, terdapat konsep diyat atau uang tebusan. Diyat adalah denda yang wajib dibayarkan dalam kasus pembunuhan tidak sengaja. Syariat membebankan pembayaran diyat ini kepada keluarga laki-laki dari pihak pelaku (ashabah). Beban kolektif ini bisa sangat besar. Di sisi lain, pihak perempuan dalam keluarga tidak ikut menanggung beban finansial ini.
5. Laki-laki Menanggung Beban Sosial dan Keagamaan
Terakhir, dalam kehidupan sosial, laki-laki seringkali menanggung beban biaya yang lebih besar. Masyarakat mengharapkan mereka untuk berkontribusi lebih dalam berbagai kegiatan. Contohnya seperti infak untuk pembangunan masjid, santunan sosial, hingga seruan jihad fi sabilillah. Peran-peran ini secara alami menuntut kesiapan finansial yang lebih besar dari kaum laki-laki.
Keadilan Berbasis Tanggung Jawab
Ketika kita melihat kelima alasan ini secara bersamaan, gambaran utuhnya menjadi sangat jelas. Islam memberikan porsi warisan lebih besar kepada laki-laki karena Islam juga memberikan tanggung jawab finansial yang jauh lebih besar kepadanya. Beban yang ia pikul seimbang dengan hak yang ia terima. Sebaliknya, perempuan menerima bagian yang lebih kecil, namun ia juga terbebas dari banyak sekali beban keuangan.
Dengan demikian, sistem waris dalam Islam sejatinya sangatlah adil. Keadilannya tidak terletak pada kesamaan nominal, melainkan pada keseimbangan sempurna antara hak dan kewajiban.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
