Opinion
Beranda » Berita » Menggugat Politik Uang Pilkada: Perspektif Etika Islam dalam Demokrasi

Menggugat Politik Uang Pilkada: Perspektif Etika Islam dalam Demokrasi

Ilustrasi politik uang

SURAU.CO – Berbagai praktik lancung seringkali mewarnai pesta demokrasi lokal atau Pilkada. Salah satu penyakit kronis yang sulit hilang adalah politik uang. Praktik ini secara terang-terangan merusak integritas pemilihan umum. Akibatnya, demokrasi hanya menjadi ajang transaksional semata. Lantas, bagaimana sebenarnya etika Islam memandang fenomena yang mengakar kuat ini?

Politik uang merupakan sebuah upaya untuk membeli suara pemilih. Calon kepala daerah atau tim suksesnya secara aktif memberikan imbalan materi. Bentuknya beragam, mulai dari uang tunai, sembako, hingga fasilitas lainnya. Mereka memiliki satu tujuan, yaitu memengaruhi pilihan masyarakat di bilik suara. Praktik ini secara efektif mengubah hak pilih menjadi komoditas dagangan.

Akibatnya, proses demokrasi pun kehilangan substansinya. Kualitas pemimpin tidak lagi menjadi pertimbangan utama bagi pemilih. Masyarakat justru cenderung memilih kandidat yang memberi imbalan terbesar. Kondisi ini lantas menciptakan lingkaran setan korupsi. Ketika seorang pemimpin menang melalui politik uang, ia akan berusaha mengembalikan modalnya. Oleh karena itu, kebijakannya seringkali tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Hukum Politik Uang dalam Pandangan Islam

Ajaran Islam secara tegas melarang segala bentuk kecurangan dan ketidakadilan. Dalam konteks pemilu, para ulama mengkategorikan politik uang sebagai risywah atau suap. Risywah sendiri adalah pemberian sesuatu untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Tindakan ini jelas merusak tatanan sosial dan keadilan.

Dalil mengenai larangan suap sangatlah jelas. Salah satunya melalui hadis yang Abdullah bin ‘Amr riwayatkan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi).

Hadis tersebut memberikan ancaman keras bagi kedua belah pihak. Baik pemberi maupun penerima suap sama-sama menanggung dosa besar. Dengan demikian, kandidat yang membeli suara dan masyarakat yang menjual suaranya berada dalam posisi yang sama-sama keliru di mata agama.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa terkait masalah ini. Melalui Fatwa Nomor 02/MUNAS-VII/MUI/6/2004, MUI menegaskan bahwa politik uang hukumnya haram. Fatwa ini semakin memperkuat landasan bahwa suap dalam bentuk apapun, termasuk dalam kontestasi politik, merupakan perbuatan terlarang.

Dampak Buruk bagi Demokrasi dan Umat

Politik uang tidak hanya mendatangkan dosa, tetapi juga membawa dampak destruktif. Pertama, praktik ini membunuh pendidikan politik yang sehat. Masyarakat tidak lagi belajar untuk menilai rekam jejak, visi, dan program kerja calon pemimpin. Mereka hanya menunggu “serangan fajar” untuk menentukan pilihan mereka.

Kedua, politik uang menghasilkan pemimpin yang tidak amanah. Seseorang yang meraih kekuasaan dengan cara curang cenderung akan memimpin dengan cara yang sama. Oknum pemimpin bisa saja menyelewengkan anggaran daerah yang seharusnya untuk rakyat. Ia melakukan ini demi menutupi biaya politik yang sangat mahal.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Selanjutnya, praktik ini menciptakan ketidakadilan bagi calon yang jujur. Kandidat yang memiliki integritas dan kompetensi seringkali mengalami kekalahan. Mereka tidak mampu bersaing dengan calon yang memiliki modal besar untuk membeli suara. Pada akhirnya, masyarakat sendirilah yang menanggung semua kerugiannya.

Peran Ulama dan Masyarakat Melawan Politik Uang

Semua elemen masyarakat perlu berperan aktif untuk memberantas praktik ini. Ulama dan tokoh agama memegang peranan yang sangat krusial. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk terus mencerahkan umat. Mereka harus tanpa henti menyuarakan bahwa politik uang adalah haram dan merusak.

Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilih harus memiliki kesadaran dan martabat. Suara mereka adalah amanah yang harus mereka pertanggungjawabkan kelak. Jangan sampai mereka menukar amanah itu dengan uang receh atau sebungkus sembako. Pilihlah pemimpin berdasarkan kapasitas dan integritasnya, bukan karena pemberian sesaat.

Aparat penegak hukum, seperti Bawaslu, juga harus bertindak tegas. Penegakan hukum yang adil menjadi kunci utama. Aparat harus memberikan sanksi berat kepada pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima, agar menimbulkan efek jera.

Dengan demikian, melawan politik uang adalah sebuah jihad kolektif. Ini adalah perjuangan untuk menjaga kemurnian demokrasi sekaligus menegakkan nilai-nilai etika Islam. Pilkada yang bersih akan menghasilkan pemimpin amanah yang membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement