Opinion
Beranda » Berita » Fenomena Sound Horeg: Saat Ledakan Audio Menggantikan Estetika

Fenomena Sound Horeg: Saat Ledakan Audio Menggantikan Estetika

Fenomena Sound Horeg: Saat Ledakan Audio Menggantikan Estetika. Sumber: canva.com

SURAU.CO – Di berbagai daerah di Indonesia, kita sering menjumpai sebuah fenomena audio yang unik, yaitu “sound horeg”. Istilah ini merujuk pada dentuman suara dari sound system raksasa yang begitu dahsyat hingga mampu membuat tanah dan bangunan bergetar. Fenomena ini sejatinya bukan lagi tentang menikmati musik, melainkan telah berevolusi menjadi sebuah budaya tersendiri. Sebuah perayaan atas kekuatan audio yang mentah dan tanpa kompromi.

Kini, sound horeg telah menjadi pemandangan umum dalam berbagai acara, mulai dari karnaval, hajatan, hingga pertemuan komunitas. Kita bisa melihat truk-truk besar mengangkut tumpukan speaker yang menjulang tinggi. Uniknya, mereka tidak fokus memutar lagu dengan harmoni yang indah. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah menghasilkan dentuman bass yang menusuk dada. Dengan kata lain, tujuan akhirnya adalah menciptakan getaran atau “horeg” yang paling kuat sebagai sebuah pertunjukan kekuatan.

Pemujaan pada Kekuatan, Bukan Keindahan

Lebih jauh lagi, fenomena ini menandai pergeseran besar dalam selera audio masyarakat. Apresiasi terhadap musik yang harmonis perlahan terkikis. Keindahan melodi, ritme, dan lirik tidak lagi menjadi prioritas. Sebagai gantinya, muncul sebuah pemujaan terhadap kekuatan sonik. Akibatnya, siapa yang memiliki sound system paling besar dan paling keras, dialah yang dianggap sebagai pemenang dalam sebuah kompetisi adu gengsi.

Puncak dari kompetisi ini seringkali terlihat dalam acara “battle sound”. Dalam ajang ini, para pemilik sound system saling berhadapan untuk mengadu kekuatan perangkat audio masing-masing. Penilaiannya pun bukan pada kualitas atau kejernihan suara. Sebaliknya, juri dan penonton justru memberi nilai berdasarkan efek getaran yang dihasilkan. Gelas yang pecah atau genteng yang rontok menjadi tolok ukur keberhasilan. Ini jelas merupakan perayaan kebisingan, bukan lagi sebuah perayaan seni.

Krisis Estetika dalam Dunia Audio

Dilihat dari kacamata seni, perkembangan ini tentu memunculkan keprihatinan. Banyak yang menganggapnya sebagai gejala nyata dari krisis estetika. Kepekaan terhadap keindahan suara seolah menghilang ditelan gelombang bass. Orang tidak lagi mencari kenikmatan audio yang bernuansa, namun hanya mengejar sensasi fisik dari getaran frekuensi rendah yang brutal. Akibatnya, telinga tidak lagi dimanjakan, melainkan diserang tanpa henti.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ihwan Zauzi L, dalam artikelnya, memberikan pandangan yang tajam mengenai hal ini. Ia menganggap fenomena ini lebih mirip perayaan mercon daripada sebuah pertunjukan musik.

“Sound horeg secara esensial adalah sebentuk pemujaan terhadap ledakan-ledakan audio yang nir-estetika. Ia diniatkan bukan untuk dinikmati sebagai musik, melainkan dirayakan layaknya mercon yang meledak-ledak.”

Kutipan tersebut secara tepat merangkum esensi sound horeg. Ia telah menjadi sebuah ritual kebisingan yang mengabaikan sepenuhnya nilai-nilai keindahan dalam musik.

Subkultur dan Komunitas di Baliknya

Meskipun demikian, di balik fenomena ini tumbuh sebuah subkultur yang sangat solid. Para penggemar dan pemilik sound system berhasil membentuk komunitas yang kuat. Di dalamnya, mereka memiliki bahasa, nilai, dan standar kebanggaannya sendiri. Bagi mereka, sound horeg adalah bentuk gairah dan identitas. Oleh karena itu, mereka rela menghabiskan dana yang sangat besar untuk merakit perangkat audio raksasa demi kepuasan bersama.

Komunitas ini juga sangat aktif di media sosial. Mereka sering membagikan video aksi sound system andalan mereka. Diskusi teknis mengenai daya, speaker, dan amplifier menjadi santapan sehari-hari. Dari sudut pandang mereka, ini adalah hobi dan wujud kreativitas. Namun, dari perspektif yang lebih luas, fenomena ini tetap menjadi cerminan zaman yang lebih menghargai kekuatan kasar daripada keindahan yang halus.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Pada akhirnya, sound horeg adalah cermin sosial. Ia menunjukkan bagaimana sebuah subkultur mampu menciptakan standarnya sendiri, bahkan jika standar itu bertentangan dengan kaidah estetika umum. Fenomena ini mengajak kita untuk merenung bersama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement