SURAU.CO – Di era digital saat ini, informasi menyebar dengan sangat cepat. Kita dapat dengan mudah menyalin dan membagikan tulisan dari internet. Kemudahan ini kemudian memunculkan pertanyaan penting. Bagaimana hukum mengutip tulisan tanpa meminta izin dari penulis aslinya? Pertanyaan ini menyangkut etika dan hak kekayaan intelektual seseorang.
Islam sangat menghargai karya dan jerih payah orang lain. Setiap tulisan lahir dari proses berpikir, riset, dan perenungan. Tentu ada usaha yang tidak sedikit di baliknya. Oleh karena itu, mengambil karya orang lain tanpa pengakuan adalah bentuk kezaliman. Namun, dunia akademik dan dakwah juga membutuhkan kutipan. Lalu, di manakah batas antara mengutip yang halal dan mencuri yang haram?
Para ulama kontemporer telah membahas masalah ini. Mereka melihat hak cipta sebagai bagian dari hak kekayaan (huquq maliyah). Hak ini patut mendapat perlindungan syariat. Mengambil tulisan orang lain secara utuh lalu mengakuinya sebagai milik sendiri jelas haram. Tindakan ini termasuk plagiarisme atau pencurian karya.
Batasan Antara Mengutip dan Plagiat
Perbedaan mendasar antara mengutip dan plagiat terletak pada niat dan pengakuan. Mengutip bertujuan untuk memperkuat argumen, memberikan referensi, atau menyebarkan ilmu. Sebaliknya, plagiat bertujuan untuk menipu dan mencuri pengakuan. Orang yang mengutip secara jujur akan selalu menyebutkan sumber aslinya. Ia mengakui bahwa ide atau kalimat tersebut milik orang lain.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
“Hak cipta, hak karang, dan hak inovasi adalah hak-hak milik penciptanya. Hak-hak ini menurut syariat memiliki nilai finansial yang dapat ditransaksikan. Hak-hak ini tidak boleh dilanggar.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa karya tulis memiliki nilai. Nilai ini melekat pada diri penulisnya. Mengambilnya tanpa hak sama saja dengan mengambil harta orang lain.
Kapan Mengutip Tulisan Diperbolehkan?
Meskipun hak cipta dilindungi, Islam tidak melarang aktivitas mengutip. Mengutip justru menjadi bagian penting dari tradisi keilmuan Islam sejak dulu. Para ulama selalu merujuk pada pendapat ulama sebelumnya. Namun, mereka melakukannya dengan etika yang sangat tinggi.
Berikut adalah beberapa kondisi yang memperbolehkan kita mengutip tulisan:
-
Menyebutkan Sumber Asli: Ini adalah syarat mutlak. Anda wajib mencantumkan nama penulis atau sumber tulisan. Tindakan ini menjaga amanah ilmiah dan menghormati penulis.
-
Tidak Mengutip Seluruhnya: Mengutip sebaiknya hanya sebagian kecil dari keseluruhan tulisan. Anda mengambil bagian yang paling relevan dengan pembahasan Anda. Menyalin seluruh isi tulisan lalu menaruhnya di blog Anda tetap tidak dibenarkan, sekalipun Anda mencantumkan sumber. Tindakan ini dapat merugikan penulis asli secara materi, misalnya dari pendapatan iklan.
-
Tujuan Non-Komersial: Jika kutipan bertujuan untuk pendidikan, dakwah, atau diskusi, hukumnya lebih longgar. Namun, jika Anda mengutip untuk tujuan komersial, maka izin dari penulis menjadi wajib. Anda tidak boleh mengambil keuntungan dari jerih payah orang lain tanpa persetujuan.
-
Tidak Mengubah Makna: Anda harus menjaga orisinalitas ide penulis. Jangan mengubah atau memotong kutipan yang dapat menyebabkan salah tafsir. Sampaikan gagasan penulis secara utuh dan jujur.
Jaga Amanah Ilmiah
Pada dasarnya, hukum mengutip tulisan tanpa izin bergantung pada cara dan tujuannya. Jika Anda mengutip sebagian kecil, menyebutkan sumber, dan tujuannya untuk menyebarkan ilmu, maka hal itu diperbolehkan. Bahkan, tindakan ini bisa menjadi amal jariyah bagi penulis aslinya.
Namun, jika Anda menyalin seluruh tulisan atau mengambil keuntungan darinya tanpa izin, maka Anda telah melanggar hak orang lain. Jagalah selalu etika dan amanah ilmiah. Hormatilah karya orang lain sebagaimana Anda ingin karya Anda dihormati. Dengan begitu, tradisi keilmuan akan terus tumbuh dengan berkah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
