Pendidikan
Beranda » Berita » Taman Siswa, Pesantren, dan Sekolah Rakyat: Tiga Pilar Pendidikan Kerakyatan

Taman Siswa, Pesantren, dan Sekolah Rakyat: Tiga Pilar Pendidikan Kerakyatan

Taman Siswa, Pesantren, dan Sekolah Rakyat: Tiga Pilar Pendidikan Kerakyatan. Sumber: canva.com

SURAU.CO – Jauh sebelum sistem pendidikan modern terbentuk, bangsa Indonesia telah memiliki model pendidikannya sendiri. Tiga pilar utama menopang fondasi pendidikan pribumi. Ketiganya adalah Taman Siswa, pesantren, dan Sekolah Rakyat. Masing-masing lahir dari rahim perjuangan yang sama. Mereka hadir sebagai jawaban atas politik pendidikan kolonial. Pemerintah Hindia Belanda saat itu menciptakan sistem yang elitis. Pendidikan hanya dapat diakses oleh kaum priyayi dan bangsawan.

Akibatnya, rakyat jelata tidak mendapat kesempatan belajar. Kondisi ini mendorong lahirnya gerakan pendidikan alternatif. Gerakan ini bertujuan membebaskan rakyat dari kebodohan. Ki Hajar Dewantara menggagas Taman Siswa. Sementara itu, pesantren telah lama menjadi benteng pendidikan Islam. Sekolah Rakyat pun muncul untuk melayani kaum marjinal. Ketiganya berbagi semangat yang sama, yaitu pendidikan untuk kemerdekaan.

Taman Siswa: Jawaban Kultural Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Lembaga ini bukan sekadar sekolah biasa. Ia adalah sebuah pernyataan perlawanan terhadap sistem kolonial. Ki Hajar Dewantara menolak model pendidikan Barat yang intelektualistis. Menurutnya, pendidikan harus menumbuhkan budi pekerti luhur. Ia memperkenalkan “sistem among” yang humanis.

Sistem ini berpusat pada pengembangan potensi anak. Guru atau pamong bertugas menuntun, bukan memaksa. Filosofi terkenalnya, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi pedoman. Filosofi ini berarti guru memberi teladan di depan. Guru membangun semangat di tengah. Dan guru mendorong dari belakang. Tujuannya jelas, yaitu menciptakan manusia merdeka. Manusia yang mandiri lahir dan batinnya.

Ki Hajar Dewantara berkata, “Kemerdekaan itu tidak hanya berdimensi politik, tetapi juga sosial-ekonomi dan kebudayaan. Kemerdekaan berarti sebuah kondisi di mana rakyat mampu mengurus dan mengelola dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada pihak lain.” Kutipan ini menegaskan visinya. Pendidikan adalah alat untuk mencapai kemandirian total.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Pesantren: Kawah Candradimuka Generasi Bangsa

Jauh sebelum Taman Siswa lahir, pesantren telah eksis. Lembaga ini menjadi pusat pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama. Ia juga menempa karakter dan kemandirian para santri. Seorang kiai tidak hanya berperan sebagai guru. Beliau juga menjadi teladan hidup bagi para santrinya.

Model pendidikan pesantren sangat unik. Hubungan antara kiai dan santri bersifat sangat personal. Proses belajar berlangsung terus-menerus tanpa sekat ruang dan waktu. Para santri belajar hidup sederhana dan bekerja sama. Mereka mengelola kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Nilai-nilai inilah yang membentuk mental pejuang. Semangat kemandirian ini sejalan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara. Keduanya sama-sama ingin melahirkan manusia yang tidak bergantung pada orang lain.

Sekolah Rakyat: Pendidikan dari, oleh, dan untuk Rakyat

Sekolah Rakyat muncul sebagai gerakan pendidikan informal. Gerakan ini diprakarsai oleh para aktivis pergerakan nasional. Tujuannya adalah memberantas buta huruf di kalangan rakyat jelata. Sekolah ini seringkali beroperasi dengan fasilitas seadanya. Lokasinya bisa di balai desa atau bahkan di bawah pohon. Namun, semangatnya sangat besar.

Para pengajarnya adalah sukarelawan yang peduli. Mereka mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Materinya pun sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sekolah Rakyat menunjukkan bahwa pendidikan bisa tumbuh dari bawah. Gerakan ini membuktikan semangat gotong royong bangsa. Semangat inilah yang menjadi benang merah. Ia menghubungkan Sekolah Rakyat dengan Taman Siswa dan pesantren.

Ketiga model pendidikan ini menunjukkan akar pendidikan Indonesia. Mereka lahir dari kebutuhan rakyat. Tujuannya pun untuk memberdayakan rakyat. Warisan mereka sangat relevan hingga hari ini. Konsep merdeka belajar yang kini digaungkan sejatinya sudah ada sejak dulu. Taman Siswa, pesantren, dan Sekolah Rakyat adalah bukti nyata. Pendidikan sejati harus memerdekakan manusia seutuhnya.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement