Gema reformasi 1998 masih terngiang kuat. Saat itu, mahasiswa menjadi motor penggerak perubahan. Mereka turun ke jalan dengan semangat membara. Gerakan Mahasiswa Islam menjadi salah satu pilar utamanya. Organisasi seperti HMI, PMII, hingga KAMMI bersatu padu. Mereka menuntut keadilan dan meruntuhkan rezim otoriter.
Namun, pemandangan itu kini terasa jauh. Jalanan lebih sepi dari demonstrasi besar. Gedung parlemen tak lagi sering didatangi ribuan mahasiswa. Hal ini memicu satu pertanyaan besar. Benarkah Gerakan Mahasiswa Islam hari ini sudah mati? Jawabannya ternyata tidak sesederhana itu. Gerakan ini tidak mati, tetapi sedang bertransformasi besar-besaran.
Tanda-Tanda Pelemahan yang Terlihat Jelas
Kita tidak bisa memungkiri adanya penurunan gairah di permukaan. Aksi massa yang masif sudah jarang terjadi. Mahasiswa kini memiliki prioritas yang berbeda. Banyak dari mereka lebih fokus pada pengembangan diri. Mereka sibuk membangun portofolio, merintis startup, atau mengikuti kompetisi akademik.
Fokus pragmatis ini menggeser idealisme aktivisme. Isu-isu politik nasional terasa kurang menarik. Bagi sebagian mahasiswa, aktivisme dianggap membuang waktu. Mereka lebih memilih jalur yang memberikan keuntungan karier langsung. Selain itu, polarisasi politik pasca-reformasi juga memecah belah kekuatan mahasiswa. Solidaritas antarorganisasi tidak sekuat dulu. Masing-masing kelompok seringkali berjalan sendiri-sendiri.
Peran media sosial juga memberi dampak ganda. Aktivisme kini banyak berpindah ke ruang digital. Kritik dan diskursus lebih sering muncul di Twitter atau Instagram. Namun, hal ini melahirkan fenomena slacktivism atau aktivisme malas. Mahasiswa merasa cukup dengan membuat tagar atau menandatangani petisi online. Energi untuk aksi nyata di lapangan pun terkuras.
Bukan Mati, Hanya Berganti Wajah dan Arena
Di tengah anggapan pelemahan, Gerakan Mahasiswa Islam sebenarnya menemukan arena baru. Mereka tidak lenyap, melainkan beradaptasi dengan zaman. Jika dulu kekuatannya ada pada jumlah massa, kini kekuatannya terletak pada gagasan dan inovasi.
Seorang pengamat sosial, Dr. Ahmad Fauzi, memberikan pandangannya.
“Mereka tidak lagi berteriak di jalanan. Mereka sekarang membangun argumen di ruang digital. Gerakan Mahasiswa Islam modern memilih menjadi inkubator gagasan, bukan sekadar motor demonstrasi.”
Pernyataan ini ada benarnya. Banyak kader organisasi mahasiswa Islam kini aktif di berbagai platform. Mereka membuat konten edukatif melalui podcast, video YouTube, dan tulisan di blog. Topik yang diangkat pun lebih beragam. Mereka tidak hanya membahas politik, tetapi juga isu lingkungan, sosial, ekonomi syariah, dan kesehatan mental.
Aktivisme mereka bergeser dari model konfrontatif ke model kontributif. Contohnya, mereka mendirikan komunitas belajar untuk anak jalanan. Mereka juga menginisiasi proyek desa binaan berbasis teknologi. Ada pula yang membangun bisnis sosial untuk memberdayakan masyarakat kecil. Ini adalah bentuk aktivisme yang lebih sunyi namun dampaknya nyata dan berkelanjutan.
Tantangan Baru di Era Digital
Transformasi ini tentu membawa tantangan tersendiri. Gerakan Mahasiswa Islam harus menghadapi beberapa persoalan serius. Pertama, perang narasi di dunia maya sangat sengit. Mereka harus mampu menyajikan gagasan yang solid dan berbasis data. Jika tidak, suara mereka akan mudah tenggelam oleh hoaks dan propaganda.
Kedua, ada risiko kooptasi oleh kepentingan politik praktis. Elite politik seringkali memanfaatkan energi mahasiswa untuk tujuan jangka pendek. Organisasi mahasiswa harus menjaga independensinya. Mereka harus memastikan gerakan mereka murni untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite.
Ketiga, tantangan menjaga kedalaman intelektual dan spiritual. Budaya digital yang serba cepat membuat banyak orang berpikir dangkal. Proses kaderisasi di organisasi mahasiswa Islam harus mampu mencetak aktivis yang tidak hanya pandai beretorika, tetapi juga memiliki pemahaman ideologi yang kuat dan akhlak yang mulia.
Kesimpulan: Sebuah Evolusi, Bukan Kematian
Jadi, apakah Gerakan Mahasiswa Islam sudah mati? Jawabannya tegas: tidak. Gerakan ini sedang berevolusi. Ia mungkin kehilangan panggung di jalanan, tetapi menemukan panggung baru yang lebih luas di ruang digital dan komunitas. Spirit perjuangannya tidak padam, hanya berganti medium.
Masa depan gerakan ini bergantung pada kemampuannya beradaptasi. Mereka harus bisa meramu idealisme dengan pragmatisme. Mereka perlu mengkombinasikan aksi digital dengan kerja nyata di masyarakat. Dengan cara itulah, relevansi dan pengaruh mereka akan tetap terjaga di tengah zaman yang terus berubah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
