Opinion
Beranda » Berita » Menavigasi Hubungan Agama dan Politik: Mencegah Polarisasi di Ruang Publik

Menavigasi Hubungan Agama dan Politik: Mencegah Polarisasi di Ruang Publik

Politik identitas
Ilustrasi Politik Identitas

Pentas politik Indonesia seringkali diwarnai perdebatan sengit. Isu agama kerap menjadi salah satu topik utamanya. Hubungan antara agama dan politik memang tidak terpisahkan. Keduanya saling memengaruhi dalam membentuk lanskap sosial. Namun, interaksi ini menyimpan potensi masalah besar. Salah satunya adalah politisasi agama untuk kepentingan sesaat.

Fenomena ini menjadi sangat nyata menjelang kontestasi elektoral. Agama kehilangan fungsinya sebagai panduan moral ketika para aktor politik mereduksinya hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan.Akibatnya, para aktor politik mengeksploitasi sentimen keagamaan untuk menyerang lawan mereka. Praktik berbahaya seperti ini jelas menjadi ancaman serius, karena berpotensi memicu gesekan horizontal dan merusak tatanan sosial yang telah terbangun.”

Akibatnya, polarisasi di tengah masyarakat tak terhindarkan dan ikatan kebangsaan pun menjadi rapuh karena perbedaan pilihan politik. Kondisi ini memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya kita menempatkan agama dalam politik? Karena itu, diperlukan sebuah ikhtiar serius untuk menemukan titik temu yang konstruktif.”

Agama Sebagai Kompas Etika Politik

Zannuba Ariffah Chafsoh, atau Yenny Wahid, menawarkan perspektif penting. Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menegaskan fungsi utama agama. Menurutnya, agama harus menjadi sumber nilai dan etika. Agama memberikan kerangka moral bagi para politisi dalam menjalankan tugasnya.

Yenny mengkritik keras praktik politik yang hanya mengejar kekuasaan. Apalagi jika cara yang digunakan adalah “politik belah bambu”. Politik semacam ini sengaja membenturkan satu kelompok dengan kelompok lain. Tujuannya hanya satu: memenangkan pertarungan politik.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ia menekankan bahwa agama membawa pesan universal. Pesan itu adalah keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang semestinya mewarnai kebijakan publik. Dengan demikian, politik tidak menjadi kering dan transaksional.

Dalam sebuah diskusi, Yenny Wahid menyatakan:

“Agama harus menjadi sumber etika publik, sumber nilai dalam berpolitik. Sehingga politik kita tidak kering, tidak sekadar menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi politik yang beradab dan beretika.”

Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya substansi. Politik yang beretika akan menghasilkan kebijakan yang adil. Kebijakan tersebut pada akhirnya akan membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat.

Maqashid Syariah sebagai Landasan Kesejahteraan Umum

Pandangan serupa datang dari Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini juga menyoroti bahaya politik identitas. Menurut Alissa, penggunaan simbol agama untuk menyerang lawan adalah tindakan yang tidak etis. Cara ini justru mengkhianati nilai-nilai luhur agama itu sendiri.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Alissa menawarkan sebuah kerangka berpikir yang mendalam. Ia memperkenalkan konsep maqashid syariah atau tujuan-tujuan utama syariat Islam. Kerangka ini dapat menjadi panduan dalam berpolitik. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah ammah).

Maqashid syariah memiliki lima prinsip dasar. Prinsip tersebut adalah perlindungan terhadap agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), akal (hifdz al-‘aql), keturunan (hifdz an-nasl), dan harta (hifdz al-mal). Kelima prinsip ini harus menjadi tujuan utama dari setiap kebijakan politik.

Alissa Wahid menjelaskan:

“Tujuan utama syariat Islam atau maqashid syariah adalah terwujudnya kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan kelompok. Karena itu, politik harus bertujuan melindungi hak-hak dasar warga negara.”

Artinya, politik tidak boleh didasarkan pada kepentingan kelompok semata. Setiap keputusan politik harus diukur dampaknya. Apakah kebijakan itu melindungi jiwa warga?  ia menjamin kebebasan berpikir?  ia menjaga hak milik setiap individu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tolok ukur utama.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Menemukan Titik Temu yang Sehat

Dari pandangan kedua tokoh tersebut, sebuah benang merah terlihat jelas. Agama dan politik dapat bertemu pada satu titik yang ideal. Titik temu itu adalah etika dan kemaslahatan umum. Agama tidak hadir sebagai alat pemukul. Ia hadir sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan kebaikan bersama.

Politik yang sehat adalah politik yang berorientasi pada substansi. Politisi tidak hanya menjual simbol-simbol keagamaan. Mereka seharusnya menawarkan program nyata. Program yang mampu menjawab persoalan mendasar masyarakat. Misalnya kemiskinan, ketidakadilan, dan akses pendidikan.

Dengan demikian, masyarakat dapat menilai calon pemimpin secara objektif. Penilaian tidak lagi didasarkan pada sentimen identitas. Namun, berfokus pada rekam jejak, kompetensi, dan integritas. Inilah esensi dari demokrasi yang matang dan substantif. Upaya mencari titik temu ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk Indonesia yang lebih baik.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement