Khazanah
Beranda » Berita » Kedudukan Kepemimpinan dalam Islam Menurut Ibnu Khaldun

Kedudukan Kepemimpinan dalam Islam Menurut Ibnu Khaldun

Kedudukan Kepemimpinan dalam Islam Menurut Ibnu Khaldun
Ilustrasi AI (sumber gambar: chatgpt.com)

SURAU.CO – Pada masa-masa awal setelah wafatnya Baginda Rasulullah, kaum muslimin mengalami tantangan, yakni hadirnya  pertanyaan besar: siapa yang akan memimpin mereka dan bagaimana nasib agama Islam tanpa  kehadiran Rasuullah? Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan diskusi panjang tentang hakikat kepemimpinan dalam Islam. Para ulama menyebutnya dengan istilah Al-Imamah Al-Kubra (kepemimpinan tertinggi) atau khilafah, yaitu kedudukan sebagai pengganti Nabi dalam mengatur umat dan menegakkan syariat. Sejak saat itu, diskursus mengenai kewajiban mengangkat seorang pemimpin dan kedudukannya dalam syariat terus menjadi perhatian para cendekiawan muslim, salah satunya Ibnu Khaldun.

Khalifah dan Imamah

Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, hakikat  kepimpinan dalam Islam yaitu sebagai pengganti Allah dalam menjaga agama dan kehidupan dunia. Penyebutan  Imamah karena identik dengan imam shalat dari segi kepemimpinan dan keteladanan gerakannya. Oleh karena itu, Imamah terkadang penyebutannya juga dengan Al-Imamah Al-Kubra (kepemimpinan tertinggi). Sebutan Khalifah karena pemimpin berfungsi sebagai pengganti Nabi dalam mengatur umatnya.

Kaum muslimin berbeda pendapat tentang penyebutannya sebagai Khalifatullah (khalifah Allah). Sebagian ulama memperbolehkannya dengan dasar bahwa kekhalifahan berlaku secara umum bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah.

                                   وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” (Al-An’am:165)

Namun, sebagian lain menolak karena wakil atau pengganti hanya berlaku bagi yang tidak hadir, sedangkan Allah selalu hadir dan tidak mungkin tergantikan.

Abu Bakar ash-Shiddiq menolak panggilan khalifatullah seraya mengatakan, “Aku bukanlah khalifah Allah, tapi aku adalah khalifah Rasulullah.”

Kewajiban Mengangkat Pemimpin

Dalam Islam mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan tabi’in. Ketika Rasulullah  wafat, para sahabat segera membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq  sebagai khalifah dan mempercayakan kepemimpinan kepadanya. Begitu pula pada masa-masa setelahnya, masyarakat tidak pernah dibiarkan tanpa kepemimpinan, agar terhindar dari hukum rimba.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban mengangkat pemimpin juga dapat dipahami secara rasional (‘aqli). Karena manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bermasyarakat, maka perlu seorang pemimpin untuk mencegah konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan. Jika tidak ada pemimpin, niscaya akan terjadi pertumpahan darah dan kehancuran. Padahal, menjaga eksistensi manusia termasuk tujuan utama syariat (maqasid asy-syari‘ah).

Namun, sebagian filosof berpendapat bahwa kendali hidup manusia hanya dapat tegak melalui syariat yang  semua orang menerimanya dengan iman dan keyakinan. Pendapat ini bagi sebagian ulama tidak sepenuhnya benar, sebab pengendalian juga bisa terwujud dengan kekuasaan dan paksaan. Sebagaimana terjadi pada bangsa-bangsa yang tidak memiliki kitab suci, contohnya pada bangsa Majusi dan bangsa-bangsa lain.

Perbedaan Pendapat

Ada kelompok yang berpendapat bahwa mengangkat pemimpin tidaklah wajib, baik secara rasional maupun syariat. Tokoh di antara mereka adalah Al-Ashamm dari kalangan Mu’tazilah, sebagian Khawarij, dan yang lainnya. Menurut mereka, yang wajib hanyalah menegakkan hukum Allah. Jika hukum sudah tegak, maka kebutuhan akan pemimpin menjadi nihil.

Ijma’ ulama lantas menolak pendapat tersebut. Sebab, penegakan hukum syariat tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan kekuasaan. Syariat memang mencela sifat zalim, pemaksaan, dan kerakusan duniawi, tetapi tidak mencela kekuasaan itu sendiri. Bahkan syariat memuji kekuasaan yang tegak dengan keadilan, toleransi, serta pelaksanaan hukum-hukum Allah.

Sebagai contohnya, Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. yang Allah beri kekuasaan begitu besar, namun mereka tetap menjadi hamba Allah yang mulia. Ini membuktikan bahwa kekuasaan bukanlah tercela, melainkan sifat zalim dan penyalahgunaannya itu sendiri.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Sehingga kepemimpinan dalam Islam bukan hanya sekadar urusan politik, melainkan amanah besar yang menyangkut agama, keadilan, dan kesejahteraan umat. Sejarah dan pandangan para ulama menunjukkan bahwa keberadaan pemimpin merupakan kebutuhan mendasar bagi terciptanya tatanan yang teratur. (St. Diyar)

Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement