Khazanah
Beranda » Berita » Islam Nusantara: Wajah Moderasi Islam untuk Indonesia dan Dunia

Islam Nusantara: Wajah Moderasi Islam untuk Indonesia dan Dunia

Islam Nusantara: Wajah Moderasi Islam untuk Indonesia dan Dunia
Ilustrasi AI (sumber gambar:chatgpt.com)

SURAU.CO – Islam Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan berbeda daripada kawasan Muslim lain. Corak keberislaman yang tumbuh bukan hanya hasil dari ajaran para ulama, tetapi juga adaptasi dengan budaya lokal yang berlandaskan nilai-nilai moderasi, keseimbangan, dan toleransi. Tradisi tersebut kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara, konsep keislaman yang ramah, damai, dan relevan dengan tantangan zaman.

Tradisi Keislaman Negeri Jawa

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari pernah menggambarkan keislaman negeri Jawa pada awal abad ke-20 dalam kitabnya Risalat Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah sebagai masyarakat yang memiliki referensi dan kecenderungan yang sama. Yakni pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, alur pikir Imam Abu Hasan al-Asy‘ari, serta corak tasawuf Imam al-Ghazali dan Imam Abi Hasan asy-Syadzili. Implementasi dari referensi dan sumber yang sama melahirkan tradisi dan norma, seperti mencintai keturunan Rasulullah, para wali, dan orang-orang saleh; serta mengharap berkah kepada mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Termasuk menghormati dan mencintai para habib, sayyid, atau sebutan lainnya bagi keturunan Rasulullah.

KH. Hasyim Asy‘ari juga menunjukkan tradisi keislaman negeri Jawa yang mentradisikan ibadah ziarah kubur. Menempuh perjalanan dari yang terdekat hingga ratusan bahkan ribuan kilometer melewati sekat-sekat negara hanya untuk berziarah ke makam para ulama, sahabat Rasulullah, dan puncaknya ke makam Kanjeng Rasulullah. Termasuk yang ditunjukkan KH. Hasyim Asy‘ari adalah ibadah men-talqin mayit yang mentradisi; sedekah untuk mayit; meyakini adanya syafaat (pertolongan); meyakini manfaat  doa, tawassul, dan lain-lain.

Diksi Negeri Jawa Bukan Politik Sektarian

Diksi ‘negeri Jawa’ muncul dalam kitab karya KH. Hasyim Asy‘ari. Penggunaan diksi tersebut bukanlah ekspresi politik sektarian di tengah masyarakat Nusantara yang multikultural. Diksi ‘negeri Jawa’ hanya mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Afrika dalam rentang abad ke-17 hingga ke-19 M. Penggunaannya untuk mendeskripsikan sebuah negeri kepulauan pada wilayah Asia Tenggara. Misalnya ketika menulis nama Syekh Yusuf Makassar (1626–1699 M) yang masih ada tambahan kata ‘al-Jawi’; demikian pula nama Syekh Ahmad Khatib al-Jawi al-Minangkabawi (1860–1916), Syekh Muhammad Nur al-Jawi al-Fatani (1873–1944 M) yang sekarang masuk wilayah Thailand.

Merujuk pada maksud ‘negeri Jawa’ dengan cakupan wilayah Asia Tenggara, dalam sejarah kawasan kepulauan ini juga populer dengan sebutan ‘Nusantara’. Dinamika keislaman di Indonesia dan kondisi Muslim dunia terkini mendorong PBNU dalam Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama 2015 mengangkat tema: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Praktik Ajaran Islam Nusantara

“Islam Nusantara” bukanlah “agama baru” sebagaimana kekhawatiran beberapa kalangan yang sudah jenuh dengan konflik Syiah–Wahabi. Islam Nusantara adalah etalase wajah keislaman yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Ajaran Islam yang terimplementasi dalam kehidupan masyarakat yang mental dan karakternya terpengaruhi struktur wilayah kepulauan. Praktik keislaman tersebut tercermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Ketiga sikap ini merupakan pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi atas problem sosial yang ditimbulkan oleh liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme agama-agama.

Konsep Negara Damai

Banyak naskah yang menunjukkan rekam jejak Islam Nusantara sebagai potret Muslim Nusantara pengikut Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) perspektif Nahdlatul Ulama (NU) yang berkarakter toleran, moderat, dan menjaga keseimbangan. Tiga karakter utama tersebut telah mengejawantah dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

Beberapa kasus dapat diekspos sebagai bagian dari materi kajian fikih dalam kitab Ahkamul Fuqaha, seperti pada tahun 1927 NU melakukan perebutan hegemoni kebudayaan menghadapi Kolonial Belanda. Segala atribut Belanda (dasi, sepatu, celana, dan lain-lain) diharamkan. Pada 1928 NU menegaskan visinya sebagai gerakan perjuangan keadilan, menjaga stabilitas, meningkatkan kualitas hidup, dan kemakmuran rakyat.

Selanjutnya, pada 1936 NU memilih konsep ‘negara damai’ untuk Indonesia merdeka. Tahun 1937 NU mendorong perjuangan sistematis dengan berorganisasi. Tahun 1939 NU mendorong pemberdayaan perempuan Nusantara. Pada 1940 NU mendorong kemajuan ekonomi kerakyatan berbasiskan Islam. Tahun 1943 membentuk pasukan ‘barisan kiai’ seperti Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin untuk kemerdekaan Indonesia. Kemudian di tahun 1945 NU mewajibkan perang semesta. Di tahun 1961 NU menolak pemberlakuan konsep Land Reform untuk propaganda politik.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Wajah Islam Nusantara

Muslim Indonesia perlu memperkenalkan wajah Islam Nusantara ke masyarakat dunia. Basis peradaban Islam Nusantara telah menjadikan Indonesia sebagai negara aman bersama Malaysia dan Singapura. Sayangnya bersamaan dengan itu, terjadi gelombang aksi kekerasan di Libya, Yaman, Irak, dan Suriah. Kemunculan kelompok Islamic State (ISIS) Irak dan Suriah memperparah kondisi ini. Sehingga sangat penting agar negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) menyadari bahwa masyarakat Timur Tengah dan Afrika tidak mesti selalu memonopoli wajah Islam dunia. Bahkan Grand Syekh al-Azhar melalui delegasinya yang datang ke PBNU, Dr. Mun‘im Fuad, menegaskan dukungannya terhadap gerakan moderasi NU yang terus mengglobal melalui Islam Nusantara.

Oleh karena itu perlu kitas syukuri, Islam Nusantara hadir sebagai ekspresi Islam yang mengakar kuat dalam tradisi masyarakat kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menghadirkan atmosfer Islam yang moderat, seimbang, dan toleran. (St.Diyar)

Referensi:  Dr. Muhammad Sulton Fatoni, Islam Nusantara, (NU dan Islam Nusantara), 2015.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement