Ekonomi
Beranda » Berita » Ekonomi Syariah dalam Literatur Kitab Kuning

Ekonomi Syariah dalam Literatur Kitab Kuning

SURAU.CO. Ketika kita mendengar tentang ekonomi Islam atau ekonomi syariah, bayangan kita seringkali langsung tertuju pada Bank Syariah, Reksadana Syariah, Baitul Maal wa Tamwil, Koperasi Pesantren, atau Investasi Halal. Namun, tahukah Anda bahwa konsep-konsep ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam yang telah berusia ratusan tahun lamanya?

Ya, semuanya terangkum dalam kitab kuning, warisan berharga dari para ulama salafunasholih kita. Kitab kuning, yang ditulis tanpa harakat dan menjadi ciri khas pesantren, ternyata bukan hanya berisi pembahasan fikih ibadah, tauhid, atau akhlak. Di dalamnya, tersembunyi khazanah ilmu ekonomi yang luar biasa.

Ekonomi Syariah di Balik Lembaran Kitab Kuning

Sebagian besar kitab fikih, menyisipkan bab khusus yang membahas tentang muamalah. Pembahasan muamalah ini meliputi jual beli, hutang-piutang, kerjasama usaha, hingga etika berdagang. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam versi pesantren sudah eksis sejak ratusan tahun lalu.

Contoh sederhananya, kita bisa temukan dalam Kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya Syekh Abu Syuja’. Kitab yang menjadi dasar dalam mazhab Syafi’i ini menguraikan bab khusus tentang jual beli (al-Buyu’). Di situ dijelaskan syarat sah jual beli: harus ada ijab qabul (serah terima), barangnya halal, dan tidak ada penipuan. Aturan ini terlihat sederhana, tetapi justru menjadi pondasi keadilan ekonomi. Sebab, tanpa syarat tersebut, transaksi bisa merugikan salah satu pihak, bahkan membuka peluang praktik zalim dalam perdagangan.

Namun, Fath al-Qarib bukan satu-satunya rujukan. Dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, pembahasan muamalah jauh lebih luas. Imam Nawawi menjelaskan akad-akad yang lebih kompleks, seperti mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dan pengelola usaha), ijarah (sewa-menyewa), dan syirkah (kongsi usaha). Misalnya, dalam akad mudharabah, pemilik modal menyerahkan harta kepada pengusaha untuk diputar, sementara keuntungan dibagi sesuai kesepakatan. Konsep ini pada dasarnya identik dengan sistem bagi hasil yang kini menjadi ciri khas bank syariah.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Etika Bisnis: Pilar Moral dalam Ekonomi Islam

Kitab kuning tidak hanya membahas aturan teknis, tetapi juga aspek moral. Dalam Kitab Ihya’ Ulum al-Din misalnya, Imam al-Ghazali menulis bab khusus berjudul Adab al-Kasb wa al-Ma’asy (etika mencari rezeki). Beliau mengingatkan, berdagang bukan hanya mencari untung.

Berdagang adalah ibadah jika diniatkan dengan benar. Pedagang seharusnya bersikap jujur, tidak boleh menimbun barang, tidak boleh menipu timbangan, dan harus rela memberi informasi yang akurat tentang kualitas dagangan. Nasihat Imam Ghazali terasa seperti alarm moral bahwa ekonomi bukan sekadar angka, tetapi juga amanah spiritual.

Peran Negara dalam Ekonomi Syariah

Selain transaksi sehari-hari, terdapat kitab-kitab klasik yang fokus membahas keuangan negara dan distribusi harta. Contohnya adalah Kitab al-Amwal karya Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. Kitab ini membahas tentang zakat, kharaj (pajak tanah), jizyah, hingga pengelolaan baitul maal. Kitab ini juga membahas konsep keadilan dalam distribusi kekayaan masyarakat.

Kemudian dalam Kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi (w. 450 H) juga memberikan porsi penting bagi peran negara dalam mengatur ekonomi. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban mengelola pajak dengan adil, mengatur mekanisme pasar, serta memastikan rakyat terbebas dari kezhaliman, baik dalam bentuk monopoli, penimbunan barang (ihtikar), maupun pungutan yang tidak sah. Al-Mawardi bahkan menegaskan bahwa penguasa adalah ra’in (penggembala) yang bertanggung jawab menjaga kesejahteraan rakyatnya. Maka, peran negara tidak hanya menjaga keamanan dan hukum, tetapi juga menjamin stabilitas ekonomi.

Sementara itu, Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah membahas teori ekonomi dengan perspektif yang lebih luas, termasuk pentingnya pajak yang proporsional agar tidak melemahkan produktivitas rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, jika negara terlalu membebani pajak, maka ekonomi justru akan melemah dan negara kehilangan sumber pendapatannya. Pemikiran ini menunjukkan bahwa para ulama klasik sudah sangat visioner dalam melihat hubungan antara negara, ekonomi, dan kesejahteraan sosial.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Pesantren Sebagai Laboratorium Ekonomi Syariah

Sejak masa-masa awal berdirinya, banyak pesantren mengajarkan kemandirian ekonomi yang berpijak pada nilai kejujuran, amanah, dan keberkahan. Kegiatan ekonomi di pesantren tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan internal, melainkan juga membangun jejaring sosial-ekonomi dengan masyarakat sekitar. Misalnya, melalui koperasi pesantren (koperasi syariah), warung santri, hingga unit usaha yang dikelola bersama.

Hal tersebut sejalan dengan semangat kitab-kitab klasik seperti Fath al-Qarib karya Abu Syuja’ atau al-Majmu’ karya Imam Nawawi, yang menekankan keabsahan transaksi harus memenuhi syarat keadilan dan keterbukaan, tanpa adanya penipuan (gharar) dan riba. Artinya, praktik ekonomi yang tumbuh di pesantren bukan sekadar aktivitas bisnis, tetapi sebuah laboratorium nyata dari ajaran muamalah syariah yang sudah dipelajari di kelas kitab kuning.

Contoh nyata bisa kita lihat di Pesantren Sidogiri, Pasuruan, yang dikenal berhasil membangun koperasi syariah besar dengan aset miliaran rupiah, berawal dari tradisi dagang kecil santri yang berlandaskan prinsip halal dan toyyib. Begitu pula Pondok Modern Darussalam Gontor, yang menjadikan wirausaha sebagai bagian dari pendidikan karakter santri—dari mengelola toko, percetakan, hingga pertanian, semuanya dengan disiplin syariah. Tradisi ini menunjukkan bahwa walaupun istilah “ekonomi syariah” baru populer pada era kontemporer, ruh dan praktiknya sudah lama hidup dalam denyut nadi pesantren.

Ekonomi Syariah: Kolaborasi hukum, etika, dan spiritualitas

Kita mungkin akrab dengan bank syariah, fintech halal, dan pasar modal syariah. Akar semua itu sudah digali para ulama sejak ratusan tahun lalu dalam kitab kuning. Mereka tidak hanya memikirkan transaksi halal-haram, tapi juga moralitas dan keberkahan. Catatannya adalah ekonomi syariah bukan hanya tentang akad yang sah tetapi juga tentang ekonomi dengan hati yang jujur, pedagang yang amanah, dan negara yang adil.

Kitab-kitab klasik seperti Fath al-Qarib, Al-Majmu’, Ihya’ Ulum al-Din, Kitab al-Amwal, dan Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, mengingatkan kita bahwa ekonomi syariah adalah perpaduan antara hukum, etika, dan spiritualitas. Itulah warisan ulama. Tugas kita adalah menghidupkannya kembali dalam praktik ekonomi modern. Dengan begitu, harta bukan hanya alat mencari untung, tapi juga jalan menuju keberkahan.(kareemustofa)

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement