SURAU.CO – Ibnu Rusyd, yang orang Eropa kenal sebagai Averroes, lahir pada tahun 1126 di kota Cordoba. Saat itu, Cordoba adalah pusat peradaban Islam. Kota itu dipenuhi perpustakaan, madrasah, dan majelis ilmu yang menarik banyak pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia.
Ibnu Rusyd tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat. Ayahnya menjabat sebagai hakim, sedangkan kakeknya terkenal sebagai ulama besar. Lingkungan itu membuatnya akrab dengan ilmu agama dan hukum Islam. Ia kemudian memperluas wawasannya dengan mempelajari kedokteran, astronomi, hingga filsafat.
Kecerdasan Ibnu Rusyd membuat namanya melambung. Khalifah mempercayakan dirinya untuk menjadi dokter pribadi sekaligus qadhi (hakim agung) di Andalusia. Meski sibuk dengan tugas kenegaraan, ia tetap menulis karya-karya besar yang menggemparkan dunia.
Pemikiran Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mewariskan warisan penting melalui penafsirannya atas karya Aristoteles. Ia menulis komentar panjang tentang hampir semua pemikiran filsafat Yunani itu. Bahkam Orang Eropa menjulukinya The Commentator karena dianggap sebagai penafsir Aristoteles yang paling otoritatif.
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa filsafat dan agama tidak bisa dipisahkan. Dalam penerapannya, akal dan wahyu menempuh jalur yang berbeda tetapi sama-sama menuju kebenaran. Melalui karya terkenalnya Fashl al-Maqal, ia menekankan bahwa agama justru menganjurkan manusia untuk berpikir, merenung, dan mencari hikmah. Menurutnya, menggunakan akal berarti menaati Allah.
Dengan pandangan itu, ia menolak sikap sebagian kelompok yang menganggap filsafat bertentangan dengan syariat. Ia menekankan bahwa rasionalitas justru membantu manusia memahami hukum alam yang Allah tetapkan. Ia percaya bahwa alam semesta berjalan dengan aturan tertentu yang dapat dipahami manusia melalui akal. Gagasan ini kemudian melahirkan cikal bakal metode ilmiah di Eropa.
Selain filsafat, Ibnu Rusyd juga menulis karya penting dalam bidang hukum. Ia menyusun Bidayat al-Mujtahid, sebuah kitab fikih perbandingan yang tetap dipelajari hingga kini. Dalam bidang kedokteran, ia menulis al-Kulliyat fi al-Tibb (dikenal dalam bahasa Latin sebagai Colliget ) yang membahas prinsip-prinsip umum kedokteran. Semua karya itu menunjukkan keluasan keilmuan Ibnu Rusyd.
Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Pada masa hidup Ibnu Rusyd, Andalusia berada di bawah kekuasaan Islam, namun wilayah itu berdampingan dengan daerah Kristen. Interaksi budaya, politik, dan ilmu pengetahuan pun berlangsung intens. Para penerjemah di Toledo, seperti Gerard dari Cremona dan Michael Scot, menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd ke dalam bahasa Latin.
Dari situ, pemikiran Ibnu Rusyd menyebar ke universitas-universitas di Eropa, terutama Paris, Bologna, dan Padua. Pada awalnya, banyak kalangan Kristen menolak filsafat Aristoteles karena mengira tidak setuju dengan ajaran Gereja. Namun, komentar Ibnu Rusyd membuka mata para cendekiawan bahwa filsafat dan iman bisa berjalan berdampingan.
Situasi ini memicu terjadinya kesenjangan antara kaum skolastik (teolog Gereja) dan kelompok Averrois, yakni pengikut yang berpikiran Ibnu Rusyd. Tokoh-tokoh besar Eropa seperti Thomas Aquinas, Siger dari Brabant, hingga Dante tidak bisa menghindar dari pengaruhnya.
Thomas Aquinas memang mengkritik sebagian pandangan Ibnu Rusyd, namun ia tetap memanfaatkan cara berpikir logisnya. Dante bahkan mengabadikan nama Ibnu Rusyd dalam Divina Commedia sebagai salah satu “penjaga cahaya akal” bersama para filsafat Yunani.
Kontroversi dan Perlawanan
Tidak semua orang menerima pemikiran Ibnu Rusyd. Banyak ulama yang menentangnya karena menilai pemikirannya terlalu rasional. Para penguasa pun menekan dirinya. Mereka membakar karya-karyanya dan mencopotnya dari jabatan hakim.
Gereja Katolik di Eropa juga menolak ajarannya, terutama ketika muncul aliran Averroisme Latin yang menyatukan iman dan akal, Gereja merasa terancam. Gereja menganggap pandangan ini bisa membahayakan otoritas agama.
Namun, semua penentangan itu gagal menghentikan pengaruh Ibnu Rusyd. Api rasionalitas yang ia nyalakan terus menyala dan menjadi fondasi bagi lahirnya Renaisans di Eropa.
Pengaruh Abadi di Eropa
Pemikiran Ibnu Rusyd berdampak luas di Eropa. Pertama, ia menghidupkan kembali Aristoteles di Barat. Tanpa komentar Ibnu Rusyd, karya Aristoteles mungkin tetap terkubur dalam naskah sulit yang hanya sedikit orang pahami.
Kedua, ia menanamkan tradisi berpikir rasional dan kritis. Tradisi ini kemudian menjadi ciri khas ilmu pengetahuan modern. Pada abad ke-13 hingga ke-15, universitas-universitas Eropa menjadikan karya Ibnu Rusyd sebagai bacaan wajib.
Mahasiswa kedokteran mempelajari Colliget, sementara mahasiswa filsafat membaca komentar-komentarnya tentang Aristoteles. Dari tradisi itu lahirlah generasi intelektual yang lebih bebas berpikir. Gerakan ini lalu membuka jalan bagi Renaisans, Reformasi, hingga Pencerahan.
Inspirasi untuk Dunia Modern
Kisah Ibnu Rusyd menyimpan banyak hikmah. Ia membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal batas agama atau bangsa. Seorang muslim dari Andalusia mampu mengubah wajah Eropa dan dunia.
Ia juga mengajarkan keberanian intelektual. Meski banyak orang yang menentangnya, ia tetap teguh dengan keyakinannya bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan. Ia terus menulis, menafsirkan, dan berpikir kritis meski menghadapi risiko besar.
Di era modern yang penuh polarisasi, warisan Ibnu Rusyd terasa sangat relevan. Kita bisa meneladani caranya memadukan iman dengan akal sehat. Kita juga bisa belajar untuk menghargai ilmu sebagai sarana membangun peradaban.
Ibnu Rusyd bukan sekedar filsafat masa lalu. Ia menjadi guru abadi bagi siapa pun yang mencari kebenaran. Ia menunjukkan bahwa berpikir kritis adalah bagian dari ibadah.
Dengan semangat itu, Ibnu Rusyd meninggalkan pesan berharga: akal dan iman adalah sahabat, bukan musuh. Siapapun yang berani berpikir kritis akan menemukan jalan untuk maju.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
