Fiqih
Beranda » Berita » Hukum Menjual Makanan Sisa dalam Islam: Panduan Fiqih dan Etika Bisnis

Hukum Menjual Makanan Sisa dalam Islam: Panduan Fiqih dan Etika Bisnis

Hukum Menjual Makanan Sisa dalam Islam: Panduan Fiqih dan Etika Bisnis. Sumber: canva.com

SURAU.COM – Fenomena menjual makanan sisa kini semakin marak. Banyak rumah makan atau jasa katering menjual kembali makanan surplus mereka dengan harga yang jauh lebih murah. Di satu sisi, praktik ini membantu mengurangi limbah makanan. Di sisi lain, ia memberikan akses pangan terjangkau bagi sebagian masyarakat. Namun, sebagai seorang Muslim, kita perlu bertanya: bagaimana fiqih Islam memandang praktik bisnis ini?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali pada prinsip dasar jual beli (muamalah) dalam Islam. Hukumnya tidak bersifat mutlak. Keputusannya sangat bergantung pada dua faktor utama: kondisi makanan itu sendiri dan kejujuran dari pihak penjual.

Prinsip Utama: Barang yang Dijual Harus Bermanfaat

Fiqih Islam menetapkan sebuah prinsip dasar dalam jual beli. Barang (mabi’) yang kita perjualbelikan harus memiliki manfaat. Barang tersebut juga tidak boleh termasuk dalam kategori kotor atau menjijikkan (mustaqdzar). Jika suatu barang dianggap kotor secara syariat, maka ia otomatis kehilangan nilai manfaatnya. Akibatnya, kita tidak boleh memperjualbelikannya.

Makanan pada dasarnya adalah barang yang sangat bermanfaat. Akan tetapi, statusnya bisa berubah jika kondisinya sudah tidak layak. Makanan yang sudah basi, tercemar, atau kotor tidak lagi memiliki manfaat. Justru, ia bisa mendatangkan penyakit. Menjual barang seperti ini jelas dilarang.

Membedakan Dua Jenis Makanan Sisa

Di sinilah kita menemukan kunci perbedaannya. “Makanan sisa” adalah istilah yang sangat umum. Karena itu, kita harus merincinya menjadi dua kategori dengan hukum yang sangat berbeda:

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

  1. Makanan Surplus (Sisa Bersih): Ini adalah makanan sisa dari prasmanan atau restoran yang belum tersentuh oleh pelanggan. Makanan ini masih utuh di dalam wadah saji. Kondisinya pun masih bersih, segar, dan tidak berubah dari segi rasa, bau, maupun rupa.

  2. Makanan Bekas Konsumsi: Ini adalah makanan sisa yang sudah berada di piring seseorang. Seseorang mungkin sudah mengambil, mengaduk, atau menyisakannya di piring. Makanan jenis ini dianggap kotor (mustaqdzar) dan menjijikkan.

Para ulama sepakat bahwa kita haram menjual makanan jenis kedua. Imam Ar-Ramli, seorang ulama besar mazhab Syafi’i, memberikan penjelasan yang relevan dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj.

(وَلَا) يَصِحُّ (بَيْعُ مُسْتَقْذَرٍ) كَحَشِيشٍ وَحَيَّةٍ لَا تَنْفَعُ وَبُصَاقٍ وَمُخَاطٍ وَعَذِرَةٍ وَسِرْجِينٍ نَجِسَيْنِ لِخِسَّتِهِمَا وَعَدَمِ مَنْفَعَةٍ فِيْهِمَا تُقَابَلُ بِمَالٍ

Artinya: “(Dan tidak) sah (menjual barang yang menjijikkan) seperti ular yang tidak bermanfaat, ludah, ingus, kotoran manusia, dan kotoran hewan yang najis…”

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

Makanan sisa dari piring pelanggan jelas masuk dalam kategori menjijikkan (mustaqdzar) ini. Oleh karena itu, kita tidak boleh menjualnya. Sebaliknya, makanan surplus yang masih bersih dan layak tidak termasuk dalam kategori ini.

Syarat Krusial: Kejujuran dan Transparansi Penjual

Meskipun kita boleh menjual makanan surplus yang bersih, ada satu syarat lagi yang tidak bisa kita tawar, yaitu kejujuran. Penjual wajib memberitahu pembeli secara jujur bahwa makanan yang ia jual adalah makanan surplus. Ia harus menjelaskan status makanan itu dengan transparan.

Tindakan ini sangat penting untuk menghindari unsur penipuan (tadlis) dalam jual beli. Pembeli memiliki hak penuh untuk mengetahui kondisi barang yang akan ia beli. Dengan adanya transparansi, pembeli bisa membuat keputusan dengan rida dan ikhlas. Jika pembeli setuju setelah mengetahui statusnya, maka jual beli itu menjadi sah dan berkah. Sebaliknya, menyembunyikan status makanan sisa adalah bentuk kebohongan yang akan merusak keberkahan transaksi.

Boleh dengan Syarat Ketat

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum menjual makanan sisa dalam Islam bersifat kondisional. Praktik ini diperbolehkan dengan dua syarat utama:

  1. Makanan yang dijual adalah makanan surplus yang masih bersih, suci, dan sangat layak untuk dikonsumsi. Makanan tersebut belum tersentuh dan tidak menjijikkan.

    Nikah Siri Tanpa Izin Istri: Tinjauan Agama, Etika, dan Pidana

  2. Penjual harus bersikap jujur dan transparan kepada pembeli dengan menjelaskan status makanan tersebut.

Jika kedua syarat ini terpenuhi, maka jual beli makanan sisa tidak hanya halal, tetapi juga bisa menjadi solusi positif untuk mencegah pemborosan dan membantu sesama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement