SURAU.CO – Banyak orang memandang bertani sebagai pekerjaan biasa. Ia sering dianggap sebagai profesi tradisional yang identik dengan lumpur dan peluh. Namun, Islam menempatkannya di posisi yang sangat mulia dan terhormat. Jauh dari sekadar aktivitas ekonomi, bertani adalah sebuah ibadah yang sarat makna. Ia memiliki dimensi spiritual, sosial, dan bahkan ekologis yang mendalam.
Dalam pandangan Islam, seorang petani tidak hanya menanam benih di tanah. Ia sedang menanam investasi pahala untuk akhiratnya. Setiap cangkulan, setiap benih yang tumbuh, dan setiap buah yang dipanen memiliki nilai di sisi Allah SWT. Mari kita selami tiga dimensi utama yang menjadikan pertanian sebagai salah satu profesi paling berkah.
1. Dimensi Ibadah dan Sedekah Jariyah
Dimensi pertama dan paling utama adalah nilai ibadah. Bertani adalah salah satu cara termudah untuk meraih pahala sedekah yang tidak pernah putus (sedekah jariyah). Mengapa demikian? Karena setiap makhluk hidup yang mengambil manfaat dari hasil tanamannya akan menjadi sumber pahala bagi sang petani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Artinya: “Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman atau menabur suatu benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang ternak, melainkan hal itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari).
Hadits ini sangat luar biasa. Artinya, seorang petani akan terus menerima pahala selama tanamannya memberikan manfaat. Pahala ini mengalir bahkan dari hal-hal yang tidak ia duga. Seekor burung yang mematuk bijinya, seorang musafir yang berteduh di bawah pohonnya, atau seekor ternak yang memakan daunnya, semuanya tercatat sebagai sedekah. Bahkan jika hasil panennya dicuri, sebagian ulama berpendapat hal itu tetap bernilai sedekah baginya.
2. Dimensi Sosial dan Fardhu Kifayah
Selain bernilai ibadah personal, bertani memiliki peran sosial yang sangat vital. Aktivitas ini adalah tulang punggung ketahanan pangan suatu umat. Tanpa petani, masyarakat akan kelaparan. Oleh karena itu, hukum bertani dalam Islam dapat mencapai tingkat fardhu kifayah atau kewajiban kolektif. Artinya, jika dalam suatu wilayah tidak ada satu pun orang yang mau bertani, maka seluruh penduduk di wilayah itu bisa ikut menanggung dosa.
Peran ini menempatkan petani sebagai pahlawan sosial. Mereka adalah garda terdepan yang memastikan setiap orang bisa makan. Mereka bekerja keras untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokok (dharuriyyat) manusia. Dengan bertani, mereka tidak hanya menafkahi keluarganya sendiri, tetapi juga menjaga stabilitas dan keberlangsungan hidup seluruh komunitas.
3. Dimensi Jihad Ekologis dan Peran Khalifah
Lebih dari itu, di zaman modern ini, peran petani dapat kita lihat sebagai bentuk “jihad ekologis”. Jihad di sini bukan berarti perang fisik, melainkan sebuah perjuangan sungguh-sungguh untuk melestarikan bumi Allah. Saat ini, dunia menghadapi krisis lingkungan yang serius. Pemanasan global, polusi, dan kerusakan tanah menjadi ancaman nyata.
Dalam konteks ini, petani adalah pejuang lingkungan. Setiap pohon yang ia tanam membantu menyerap karbon dioksida. Setiap lahan yang ia olah menjadi area resapan air. Aktivitas mereka secara langsung melawan desertifikasi dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ini adalah perwujudan nyata dari peran manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifatullah fil ardh), yaitu tugas untuk merawat dan memakmurkan alam.
Dalam fiqih, kita juga mengenal konsep ihyaul mawat atau “menghidupkan lahan mati”. Nabi bahkan mendorong umatnya untuk mengelola lahan yang terlantar. Dengan bertani, seorang Muslim telah menjalankan sunnah ini. Ia mengubah tanah yang gersang menjadi produktif dan hijau.
Profesi Penuh Berkah
Pada akhirnya, kita melihat bahwa bertani bukanlah profesi rendahan. Ia adalah sebuah jalan mulia yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. Melalui pertanian, seseorang bisa meraih pahala ibadah, menjalankan kewajiban sosial, dan berjuang melestarikan bumi. Ini adalah pekerjaan yang penuh berkah, baik di dunia maupun di akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
