SURAU.CO – Pernahkah kita terdiam menatap anak kecil yang berteriak marah di tengah pasar? Orang-orang lalu menoleh dengan tatapan sinis, seolah si anak sudah dicap nakal. Padahal, marah adalah bahasa pertama yang lahir sebelum kata-kata. Yang sesungguhnya diuji bukan hanya anak, melainkan juga kesabaran orang tuanya.
Di era yang serba cepat ini, banyak orang tua mengira solusi terbaik adalah melarang anak menangis atau memarahinya agar diam. Namun, larangan itu ibarat menutup gentong yang mendidih tanpa memberi jalan uap keluar. Pada akhirnya, emosi itu akan meledak lebih besar. Maka, cara melatih anak mengendalikan emosi tidak bisa ditempuh dengan represi, melainkan dengan tuntunan yang penuh kasih.
Rasulullah ﷺ sudah menegaskan hakikat kekuatan sejati:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari & Muslim).
Jika dewasa saja diperintahkan menahan marah, apalagi anak-anak yang masih belajar.
Emosi Bukan Musuh, Melainkan Guru
Dalam pandangan tasawuf, emosi adalah “tamu” yang mengetuk pintu hati. Ia datang membawa pesan, bukan untuk diusir. Anak yang menangis keras mungkin sedang berkata: “Aku butuh dipahami.” Anak yang berteriak marah sedang berusaha berkata: “Aku takut kehilangan.”
Sayangnya, kita sering terburu-buru menilai. Banyak orang tua mengira anaknya keras kepala, padahal ia hanya tidak punya kosa kata untuk menyebutkan perasaan. Di titik inilah, orang tua perlu hadir sebagai penerjemah batin anak.
Kelembutan: Jalan yang Membuka Hati
Al-Qur’an memberi panduan:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh darimu.” (QS. Ali Imran: 159).
Ayat ini tidak hanya berlaku untuk para sahabat Nabi, tapi juga menjadi cermin bagi kita para orang tua. Anak-anak akan menjauh jika hati kita keras. Sebaliknya, kelembutan adalah kunci yang membuat mereka mau mendengar.
Napas, Kisah, dan Pelukan
Bagaimana praktiknya? Ada tiga jalan sederhana namun mendalam:
-
Napas. Ajak anak menarik napas seakan mencium bunga, lalu menghembus seperti meniup lilin. Nafas adalah anugerah Allah, “nafas ar-rahman”, yang bisa menjadi jembatan ketenangan.
-
Kisah. Anak lebih mudah belajar melalui cerita. Dongeng tentang tokoh yang marah, lalu menemukan jalan damai, akan lebih membekas daripada seribu nasihat.
-
Pelukan. Kadang anak tidak butuh ceramah, hanya butuh dipeluk hingga air matanya reda. Pelukan adalah zikir tubuh yang mengingatkan bahwa dunia masih aman.
Orang Tua sebagai Cermin
Tidak ada metode yang lebih ampuh selain teladan. Anak adalah peniru ulung. Bila orang tua gampang tersulut di jalan, anak akan belajar hal yang sama. Bila orang tua bisa menahan diri, anak pun menirunya. Inilah hakikat pendidikan sejati: bukan kata-kata, melainkan kehadiran.
Tasawuf mengajarkan konsep mujahadah an-nafs—melatih diri mengendalikan hawa nafsu. Seorang ayah atau ibu yang berhasil mengendalikan diri sedang menanam benih akhlak pada jiwa anaknya.
Stabilitas Lahir, Ketenangan Batin
Anak membutuhkan rutinitas. Jam tidur, waktu makan, doa sebelum belajar—semua itu menciptakan rasa aman. Stabilitas lahiriah menumbuhkan ketenangan batiniah. Tanpa pola yang jelas, anak mudah gelisah, dan kegelisahan itulah yang sering meledak menjadi amarah.
Hikmah Penutup
Cara melatih anak mengendalikan emosi sejatinya bukan tentang memadamkan api marah, melainkan menyalurkan api itu agar menerangi, bukan membakar. Anak yang belajar mengenali emosinya sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, bukan karena tidak pernah marah, tetapi karena tahu bagaimana mengelola marah.
Mari kita renungkan: sudahkah kita hadir bagi anak-anak kita dengan kelembutan, atau justru kita masih mewariskan cara keras yang dulu kita terima?
Doa sederhana untuk kita semua:
Ya Allah, jadikan rumah kami taman kasih sayang. Ajari kami kelembutan sebagaimana Engkau Maha Lembut, dan bimbing anak-anak kami menjadi insan yang mampu mengendalikan diri dengan cahaya-Mu.
*Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
