SURAU.CO – Indonesia adalah rumah bagi masyarakat yang majemuk. Kita hidup berdampingan dengan tetangga, rekan kerja, dan bahkan kerabat yang berbeda keyakinan. Kondisi ini seringkali memunculkan pertanyaan penting bagi seorang Muslim: bagaimana kita harus bersikap? Bolehkah kita tetap menjalin hubungan baik dan silaturahmi dengan mereka? Jawabannya adalah iya. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memberikan panduan yang sangat jelas dan penuh kasih sayang.
Menjaga hubungan baik dengan sesama manusia adalah bagian dari akhlak mulia. Namun, banyak yang masih ragu melakukannya jika terkait dengan non-Muslim. Keraguan ini muncul dari kesalahpahaman antara interaksi sosial (muamalah) dan loyalitas akidah (wala’). Padahal, syariat telah meletakkan keduanya pada porsi yang tepat.
Landasan Kuat dari Al-Qur’an
Al-Qur’an secara tegas memberikan lampu hijau untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Tentu, ada batasan yang jelas. Kebaikan ini berlaku selama mereka tidak memerangi kita karena agama atau mengusir kita dari tanah air. Allah SWT berfirman dalam sebuah ayat yang menjadi pilar utama dalam hubungan antarumat beragama:
لَا يَنْهَاكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik (al-birr) dan berlaku adil (al-qisth) terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Ayat ini menggunakan kata al-birr, yang berarti “kebaikan”. Ini adalah kata yang sama yang digunakan untuk menggambarkan bakti seorang anak kepada orang tuanya (birrul walidain). Hal ini menunjukkan betapa tingginya tingkat kebaikan yang dianjurkan oleh Islam kepada non-Muslim yang hidup damai bersama kita.
Teladan Praktis dari Zaman Rasulullah
Jika Al-Qur’an memberikan landasan teori, maka Sunnah Nabi memberikan contoh praktisnya. Salah satu kisah paling menyentuh datang dari Asma binti Abu Bakar. Ibu Asma, yang pada saat itu masih dalam keadaan musyrik, datang dari Makkah ke Madinah untuk menemuinya. Asma merasa ragu. Ia pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, ibuku datang menemuiku dan ia sangat ingin (aku berbuat baik padanya), apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Nabi menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jawaban Nabi sangat lugas dan jelas. Beliau tidak hanya mengizinkan, tetapi memerintahkan Asma untuk tetap menyambung tali silaturahmi dengan ibunya. Kisah ini menjadi bukti tak terbantahkan. Hubungan kekerabatan, kasih sayang, dan interaksi sosial tidak boleh terputus hanya karena perbedaan keyakinan.
Membedakan antara Kebaikan Sosial dan Loyalitas Akidah
Di sinilah letak pemahaman yang paling krusial. Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada siapa pun. Kita dianjurkan membantu tetangga non-Muslim yang kesusahan. Kita juga boleh menjenguk mereka saat sakit atau memberi hadiah. Semua ini adalah bagian dari muamalah (hubungan sosial) yang terpuji.
Namun, Islam melarang keras wala’ (loyalitas) dalam urusan akidah. Artinya, kita tidak boleh mencintai keyakinan mereka yang bertentangan dengan tauhid. Kita juga dilarang mengikuti ritual ibadah mereka. Batasan ini sangat jelas dan tidak bisa ditawar. Menjaga hubungan baik tidak berarti kita meleburkan batas-batas akidah.
Silaturahmi sebagai Media Dakwah
Pada akhirnya, menjaga silaturahmi dengan non-Muslim adalah bentuk dakwah yang paling efektif, yaitu dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan). Saat mereka melihat akhlak seorang Muslim yang ramah, adil, dan peduli, mereka akan melihat keindahan Islam secara langsung. Perilaku kita menjadi cerminan dari ajaran agama kita.
Oleh karena itu, jangan pernah ragu untuk menjadi tetangga yang baik. Jangan ragu untuk menjadi rekan kerja yang suportif. Jangan pula memutus hubungan dengan kerabat hanya karena perbedaan iman. Selama kita menjaga batasan akidah, maka setiap kebaikan yang kita lakukan akan bernilai pahala dan menjadi saksi atas kemuliaan ajaran Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
