Khazanah
Beranda » Berita » Bukti Forensik dalam Hukum Islam: Bisakah Menggantikan Saksi dan Sumpah?

Bukti Forensik dalam Hukum Islam: Bisakah Menggantikan Saksi dan Sumpah?

Bukti Forensik dalam Hukum Islam: Bisakah Menggantikan Saksi dan Sumpah? Sumber: canva.com

SURAU.CO – Dunia investigasi modern telah mengalami revolusi besar. Kemajuan ilmu forensik seperti tes DNA, sidik jari, dan otopsi digital mampu mengungkap kebenaran dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan penting bagi umat Islam: bagaimana posisi bukti forensik dalam hukum Islam? Apakah metode canggih ini dapat menggantikan alat bukti tradisional seperti kesaksian (syahadah) dan sumpah (yamin)?

Ternyata, fiqih Islam sebagai sebuah sistem hukum yang dinamis telah memiliki kerangka untuk menjawab tantangan ini. Para ulama tidak menolak perkembangan zaman. Sebaliknya, mereka meletakkan sebuah konsep fundamental yang disebut qarinah atau indikasi. Memahami konsep ini adalah kunci untuk melihat betapa relevannya hukum Islam di setiap waktu.

Alat Bukti Tradisional dalam Fiqih

Sebelum membahas bukti modern, kita perlu memahami alat bukti utama yang telah ditetapkan oleh syariat. Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama menetapkan beberapa metode pembuktian primer yang didasarkan langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah. Di antaranya adalah:

  1. Pengakuan (Iqrar): Pernyataan pelaku yang mengakui perbuatannya. Ini adalah bukti terkuat.

  2. Kesaksian (Syahadah): Keterangan dari saksi yang adil dan memenuhi syarat.

    Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

  3. Sumpah (Yamin): Pernyataan seseorang dengan menyebut nama Allah untuk menguatkan perkataannya.

Metode-metode ini menjadi pilar dalam sistem peradilan Islam selama berabad-abad. Mereka menjaga objektivitas dan kehati-hatian dalam menetapkan sebuah hukuman.

Mengenal Konsep Qarinah sebagai Pintu Masuk Bukti Modern

Di sinilah letak kecerdasan para fuqaha (ahli fiqih). Mereka menyadari bahwa kebenaran tidak selalu bisa diungkap hanya melalui tiga metode di atas. Oleh karena itu, mereka merumuskan konsep qarinah, yaitu sebuah tanda, indikasi, atau bukti tidak langsung yang sangat kuat kaitannya dengan sebuah peristiwa. Bukti forensik modern, dengan segala kecanggihannya, masuk ke dalam kategori qarinah ini.

Namun, bukti forensik bukanlah qarinah biasa. Tingkat akurasinya yang nyaris absolut membuatnya menjadi qarinah qath’iyyah atau indikasi yang bersifat pasti. Ia bisa jauh lebih kuat daripada kesaksian seorang saksi yang mungkin saja lupa, berbohong, atau salah lihat.

Pandangan Ulama Klasik tentang Kekuatan Indikasi

Gagasan bahwa sebuah indikasi bisa menjadi bukti utama bukanlah hal baru. Imam Al-Qarafi, seorang ulama besar dari mazhab Malikiyah, telah membahasnya secara brilian berabad-abad lalu. Beliau menunjukkan bahwa syariat sendiri seringkali menggunakan indikasi sebagai landasan hukum. Beliau menyatakan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Sesungguhnya syariat tidak menafikan tanda-tanda/indikasi (al-‘alamat), bahkan syariat menggunakannya. Para sahabat telah menghukum rajam pada kasus peminuman khamr berdasarkan indikasi bau mulut dan muntah… Ulama juga menetapkan kepemilikan barang berdasarkan penguasaan (al-yad), padahal penguasaan hanyalah indikasi. Sesuatu yang bersifat pasti (qath’i) harus didahulukan dari pada yang bersifat dugaan (zhanni). Dan tidak ada yang meragukan bahwa indikasi-indikasi ini lebih kuat dari pada sekadar berita dari seorang saksi.” (Al-Qarafi, Al-Furuq, juz IV, hal. 59).

Pendapat Imam Al-Qarafi ini sangat relevan. Jika bau mulut saja bisa menjadi indikasi kuat, apalagi hasil tes DNA yang akurat? Ini menunjukkan bahwa hukum Islam sangat mengedepankan substansi, yaitu mencapai kebenaran dan keadilan.

Penerapan Bukti Forensik dalam Peradilan Islam

Lalu, bagaimana penerapan konkretnya? Para ulama kontemporer membedakan penggunaannya dalam dua jenis kasus:

  1. Kasus Hudud dan Qishash
    Untuk kejahatan yang hukumannya telah ditetapkan secara spesifik oleh nash (seperti zina, pencurian, atau pembunuhan), syarat pembuktiannya sangat ketat dan harus merujuk pada teks syariat (misalnya, empat saksi untuk zina). Dalam kasus ini, bukti forensik tidak bisa menggantikan saksi untuk menjatuhkan hukuman hadd. Namun, ia berfungsi sebagai qarinah pendukung yang sangat kuat. Misalnya, untuk menolak tuduhan atau sebaliknya, menguatkan dakwaan sehingga hakim bisa mencari bukti primer lainnya.

  2. Kasus Ta’zir
    Untuk semua kejahatan lain yang hukumannya diserahkan pada kebijakan hakim (ta’zir), bukti forensik bisa menjadi alat bukti utama. Dalam kasus korupsi, penipuan, sengketa, atau berbagai tindak kriminal modern lainnya, hakim dapat menggunakan hasil forensik sebagai landasan utama untuk menjatuhkan vonis. Di sinilah fleksibilitas hukum Islam benar-benar terlihat.

    Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Pada akhirnya, Kita melihat bahwa hukum Islam tidaklah kaku. Ia memiliki mekanisme untuk menyerap perkembangan ilmu pengetahuan demi satu tujuan mulia: menegakkan keadilan sejati. Bukti forensik tidak datang untuk menggantikan syariat, tetapi untuk menjadi alat bantu yang sangat kuat dalam mewujudkan tujuan syariat itu sendiri.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement