Opinion
Beranda » Berita » Bijak Menyikapi Privasi Rumah Tangga di Era Media Sosial

Bijak Menyikapi Privasi Rumah Tangga di Era Media Sosial

Privasi Rumah Tangga
Ilustrasi larangan mengumbar privasi rumah tangga. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Dahulu, ketika orang ingin membicarakan hal-hal pribadi, apalagi yang bersifat sensitif, mereka harus bertemu secara langsung dalam ruang tertutup, dengan orang yang benar-benar dipercaya. Namun, kini semuanya berubah drastis. Di era digital seperti sekarang, hanya dengan satu ketikan jari, seseorang bisa menyebarkan cerita ke ribuan orang dalam hitungan detik. Salah satu topik yang kini menjadi sangat vulgar dan terbuka di media sosial adalah perbincangan tentang urusan seksual, bahkan sampai ke rincian yang semestinya hanya menjadi rahasia suami istri.

Media sosial telah membuka ruang besar untuk orang-orang berbagi apa pun tanpa filter. Banyak yang mulai membicarakan pengalaman pribadi di ranjang, baik secara langsung maupun tersirat, dalam grup-grup chat, unggahan status, hingga video. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan anak muda, tetapi juga pada mereka yang telah menikah. Tidak jarang, seorang suami atau istri dengan santainya membicarakan hubungan intim mereka secara terbuka, bahkan menjadikan itu sebagai bahan lelucon atau cerita yang dianggap lucu dan menarik perhatian.

Lebih jauh lagi, maraknya promosi obat kuat atau produk-produk pendukung hubungan suami istri sering kali disertai dengan testimoni yang secara terang-terangan menceritakan efek produk tersebut terhadap performa seksual mereka. Padahal, testimoni semacam ini bisa menjurus pada pengungkapan aib dan rahasia rumah tangga. Apalagi jika narasi testimoni tersebut dibumbui dengan detail yang mengundang fantasi atau imajinasi para pembaca.

Fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya karena bertentangan dengan etika dan kesopanan, tapi juga karena melanggar prinsip syariat yang sangat menjaga kehormatan dan privasi hubungan suami-istri.

Larangan Membongkar Rahasia Ranjang dalam Islam

Islam mengajarkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan pasangan. Salah satu bentuk kehormatan yang harus dijaga adalah rahasia hubungan suami istri. Rasulullah ﷺ secara tegas melarang umatnya untuk menceritakan secara terang-terangan apa yang terjadi di balik pintu kamar tidur.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Dalam hadits riwayat Muslim, Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya termasuk orang yang kedudukannya paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang berhubungan dengan istrinya, kemudian dia menyebarkan rahasia ranjang mereka kepada orang lain.” (HR. Muslim no. 1437)

Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan membuka rahasia hubungan suami istri. Rasulullah ﷺ menggambarkan perbuatan ini sebagai sesuatu yang menjadikan pelakunya berada dalam posisi yang paling hina di hadapan Allah.

Dalam riwayat lain dari Asma’ binti Yazid, Rasulullah ﷺ memperingatkan bahwa baik lelaki maupun perempuan bisa terjerumus dalam dosa ini. Ketika beliau menyebutkan kemungkinan adanya lelaki yang menceritakan apa yang dilakukannya bersama istrinya, dan wanita yang menceritakan tentang suaminya, para sahabat terdiam. Namun Asma’ membenarkan bahwa memang hal itu sering terjadi. “Iya demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun melakukannya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kalian lakukan itu! Sesungguhnya hal itu hanyalah seperti setan laki-laki bertemu setan perempuan di suatu jalan, lalu ia menggaulinya sementara orang-orang menontonnya.” (HR. Ahmad)

Perumpamaan yang digunakan Nabi ﷺ sangat kuat. Membicarakan hubungan suami istri di hadapan orang lain sama seperti mempertontonkan adegan vulgar di depan publik. Sebuah tindakan yang menjijikkan dan jauh dari sifat malu yang menjadi ciri utama orang beriman.

Penjelasan Para Ulama

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan menyebarkan apa yang terjadi saat hubungan suami istri, termasuk perasaan, ucapan, tindakan atau semisalnya yang bersifat pribadi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Begitu pula Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menegaskan bahwa menjaga rahasia hubungan intim adalah bagian dari amanah yang besar. Menurut beliau, baik suami atau istri yang menyebarkan cerita ranjang merupakan pelanggaran terhadap kehormatan pasangan dan bisa merusak kepercayaan dalam rumah tangga.

Allah Ta’ala juga berfirman dalam QS. An-Nisa: 34: “Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa wanita salihah adalah yang mampu menjaga rahasia rumah tangga, termasuk rahasia ranjang. Begitu pula seorang suami harus mampu menjaga privasi istrinya sebagai bentuk tanggung jawab dan penghormatan.

Apakah Ada Pengecualian?

Dalam kondisi tertentu, Islam memberikan kelonggaran untuk menyampaikan hal-hal terkait hubungan suami istri, seperti ketika meminta fatwa, menjalani pengobatan, atau ketika bersengketa di hadapan hakim. Orang yang menyampaikan itu harus dengan penuh adab dan tidak secara vulgar.

Contohnya dapat kita lihat dalam hadis riwayat Muslim, ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hukum mandi besar setelah hubungan suami-istri yang tidak sampai ejakulasi. Rasulullah ﷺ menjawab pertanyaan itu secara langsung namun tetap menjaga adab dan tidak membahas dengan vulgar.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata “Sungguh seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seseorang yang telah berjimak dengan istrinya kemudian tidak sampai ejakulasi (orgasme). Apakah keduanya diwajibkan mandi besar? ‘Aisyah sedang duduk di situ. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh saya telah melakukan hal yang sama, saya dan (istri) saya ini. Kemudian, kami berdua mandi besar.”  (HR. Muslim no. 350)

Begitu pula kisah dalam hadits riwayat Bukhari, seorang wanita mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa suaminya tidak bisa memuaskannya. Meskipun konteksnya pengaduan hukum, ia menyampaikan dengan isyarat dan perumpamaan, bukan dengan narasi vulgar.

Diriwayatkan dari Ikrimah, “Ketika Abdur Rahman bin Az-Zabir mendengar bahwa istrinya melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyusul datang dengan membawa dua anak laki-lakinya dari istrinya yang lain. Untuk membuktikan, dia lelaki jantan’. Wanita tersebut mengadukan suaminya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Demi Allah, dia tidak membuat kesalahan kepadaku. Hanya saja, dia tidak punya sesuatu yang bisa memuaskanku, selain seperti ini. Dia pun memegang ujung kainnya.’ Maksud wanita ini adalah “punya” Abdurrahman loyo. (HR. Bukhari no. 5825)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa dalam keadaan darurat seperti ini, membuka sebagian rahasia diperbolehkan karena ada maslahat yang lebih besar, yaitu menjaga hak dalam pernikahan atau menyelesaikan permasalahan. Namun, di luar itu, hukum asalnya tetap: rahasia ranjang harus disembunyikan, kecuali ada faidahnya (Fathul Bari, 11: 83).

Menjaga Lisan dan Etika di Media Sosial

Hari ini, media sosial telah membuat batas-batas privasi menjadi kabur. Karena ingin eksis, viral, atau berbagi hal menarik, banyak orang akhirnya tergelincir. Padahal, tidak semua hal pantas untuk diumbar. Kehidupan suami istri, apalagi yang bersifat intim, bukan konsumsi publik.

Ketika seseorang membagikan cerita tentang urusan intim secara terbuka, mereka tidak hanya melanggar batas kesopanan, tetapi juga membuka pintu bagi kerusakan moral. Orang lain yang membaca atau mendengar cerita itu bisa terdorong untuk membayangkan hal-hal yang tidak pantas, atau bahkan terdorong untuk melakukan dosa. Media sosial memudahkan penyebaran konten semacam ini dan mempersulit pengendaliannya. Seseorang yang mem-posting sesuatu akan kesulitan menariknya kembali, apalagi jika banyak orang sudah membagikannya ulang.

Lebih dari itu, menyebarkan rahasia suami-istri juga bisa menimbulkan krisis kepercayaan dalam rumah tangga. Seorang istri atau suami bisa merasa dikhianati apabila tahu pasangannya menceritakan hal-hal pribadi mereka kepada orang lain. Ini bisa memicu konflik yang tidak perlu dan mengganggu keharmonisan keluarga.

Mari kita renungkan, jika menjaga rahasia pasangan adalah bagian dari amanah dan bentuk cinta, maka menyebarkannya adalah bentuk pengkhianatan. Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang-orang yang Rasulullah ﷺ sebut sebagai paling buruk di sisi Allah kelak di hari kiamat.

Sebagai muslim, kita harus kembali kepada adab Islam yang luhur. Menjaga kehormatan diri dan pasangan, menjaga lisan dari membicarakan hal yang tak pantas, serta bijak dalam bermedia sosial adalah bentuk nyata dari takwa dan kecintaan kepada ajaran Rasulullah ﷺ.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement