SURAU.CO – Mungkin kita perlu belajar dari Revolusi Prancis Tahun 1789. Ketika beberapa pemimpin daerah negeri ini berencana memberlakukan kenaikan pajak tanah dan bangunan (PBB-P2) secara drastis. Nyatanya malah memancing demonstrasi besar-besaran dan protes. Masyarakat merasakan kebijakan tersebut akan sangat memberatkan. Publik secara umum, terutama kelas menengah, merasakan beban berat dari kebijakan pajak saat ini. Ironisnya ketika sebagian besar rakyat sedang berada dalam kesulitan, berbanding terbalik dengan gemerlapnya hidup serta fasilitas mewah sebagian besar para pejabat. Ketimpangan antara beban fiskal rakyat dan gaya hidup duniawi sebagian pejabat turut memperkuat persepsi ketidakadilan.
Kondisi Rakyat Prancis Sebelum Tahun 1789
Rakyat Prancis menjerit terbebani kewajiban pajak yang dipungut oleh negara. Apalagi mereka harus membayar sewa dan kontribusi yang harus kepada tuan tanah. Juga kewajiban persepuluhan–kewajiban memberikan 10% dari penghasilan kepada gereja. Ketiga pihak ini pun menerapkan kewajiban kerja paksa. Menurut Pyotr Kropotkin dalam bukunya Great French Revolution, hampir seluruh penduduk Prancis jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Ribuan orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak menggelandang—lima ribu, sepuluh ribu, bahkan dua puluh ribu per provinsi. Pada tahun 1777, Pyotr mencatat secara resmi terdapat 1.100.000 orang menjadi pengemis.
Kelaparan di desa-desa sudah menjadi pemandangan yang kronis. Dampak dari kelaparan itu memusnahkan seluruh provinsi. Para petani berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka, ratusan bahkan ribuan orang, dengan harapan— yang segera pupus—untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik. Pada saat yang sama, jumlah orang miskin kota meningkat setiap tahunnya, dan kekurangan pangan sudah menjadi hal yang biasa. Karena pemerintah kota tidak menyuplai pasar dengan persediaan, kerusuhan roti yang hampir selalu berujung pada pembantaian, menjadi pemandangan sehari-hari di kerajaan.
Kemewahan Tak Terkendali Kaum Aristokrat
Kontras dengan yang rakyat Prancis alami, tampak gemerlap kemewahan berlebihan kaum aristokrat (the superfine aristocrat) abad ke-18. Mereka menghambur-hamburkan sumber daya dan kekayaan negara—ratusan ribu bahkan jutaan franc setiap tahun—untuk kemewahan dan pesta yang tak terkendali.
Akibatnya, kebosanan selalu mengetuk pintu kaum kaya: kebosanan di istana Versailles dan château (kastil) mereka. Akhirnya kita pun mengetahui ‘nilai’ mereka yang sebenarnya dari para aristokrat. Ketika Revolusi Prancis meletus; bagaimana mereka meninggalkan begitu saja “raja dan ratu mereka” untuk menyelamatkan diri. Arisktokrat itu bergegas kabur keluar negeri. Mereka menyerukan agar pihak asing menginvasi Prancis, demi melindungi tanah dan hak-hak istimewa bangsawan dari rakyat yang bangkit. Nilai diri dan watak ‘aristokrat’ mereka dapat terlihat dari koloni-koloni emigran yang mereka bentuk di Coblentz, Brussels, dan Mitau (Koblenz, Brussels dan Jelgava). Kesenjangan yang ekstrem antara kemewahan dan kemiskinan yang merajalela dalam kehidupan abad ke-18 telah tergambarkan dengan sangat baik oleh setiap sejarawan Revolusi Prancis.
Penderitaan Kaum Tani
Penderitaan besar-besaran kaum tani Prancis memang tak terbantahkan dan kondisinya mengerikan. Keadaan ini meningkat drastis sejak masa pemerintahan Louis XIV. Kondisi ini terjadi seiring dengan meningkatnya pengeluaran negara dan bertambahnya kemewahan para bangsawan yang begitu jelas dalam catatan-catatan dari masa itu.
Yang membuat tuntutan para bangsawan semakin tak tertahankan adalah kenyataan bahwa banyak dari mereka, ketika jatuh miskin namun berusaha menutupi kemiskinannya dengan tampilan kemewahan.Dalam keputusasaan beralih pada pemerasan, bahkan terhadap sewa dan pembayaran terkecil dalam bentuk natura(imbalan dalam bentuk barang atau fasilitas). Mereka memperlakukan kaum tani, melalui perantaraan para pengawasnya, dengan kekerasan layaknya rentenir. Kemiskinan telah mengubah kaum bangsawan, dalam hubungannya dengan bekas-bekas budaknya, menjadi penghisap uang kelas menengah. Aristokrat tak lagi memiliki kemampuan menemukan sumber pendapatan baru, selain dari mengeksploitasi hak-hak kuno dari sisa-sisa zaman feodal. Inilah sebabnya dalam beberapa dokumen selama lima belas tahun pemerintahan Louis XVI sebelum Revolusi Prancis, terdapat bukti nyata adanya kebangkitan kembali tuntutan-tuntutan feodal.
Suara Menentang Hak-Hak Feodal
Sebagian besar kaum tani semakin miskin. Tahun demi tahun, kehidupan mereka makin rentan. Sedikit saja terjadi kekeringan, hasilnya adalah kelangkaan dan kelaparan. Tetapi, kelas baru petani yang sedikit lebih sejahtera dan punya ambisi, mulai terbentuk pada saat yang sama. Mereka berada di daerah-daerah tempat usaha perkebunan bangsawan runtuh dengan cepat. Kelas menengah desa, yakni kaum tani berada, mulai muncul, dan ketika Revolusi Prancis mendekat, merekalah yang pertama kali bersuara menentang hak-hak feodal dan menuntut penghapusannya.
Kaum inilah yang selama empat atau lima tahun jalannya Revolusi Prancis dengan tegas menyuarakan agar hak-hak feodal dihapuskan tanpa kompensasi. Mereka pun menuntut agar tanah-tanah milik bangsawan istana disita dan dijual dalam petak-petak kecil. Kelas ini jugalah yang paling keras, pada tahun 1793, terhadap ‘es cidevants’–para bangsawan yang digulingkan dan mantan tuan tanah.
Sehingga untuk sementara waktu jelang Revolusi Prancis, kaum menengah inilah yang menjadi harapan dan mengilhami semangat pemberontakan. Tanda-tanda kebangkitan ini jelas terlihat. Sebab sejak naiknya Louis XVI pada tahun 1774, pemberontakan semakin sering terjadi. Maka nampak jelaslah bahwa jika keputusasaan dan penderitaan mendorong rakyat untuk melakukan kerusuhan. Selain itu, harapan akan mendapatkan ruang kemerdekaan yang menggerakkan mereka untuk melakukan pemberontakan.
Revolusi 1789 lahir dari persenyawaan antara penderitaan rakyat karena pajak dan harapan yang tumbuh pada kelas menengah. Keduanya berpadu menjadi daya dorong sejarah yang meruntuhkan tatanan feodal dan membuka jalan bagi lahirnya masyarakat baru yang merdeka, setara dan bersaudara–Liberté, Égalité, Fraternité.(St.Diyar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
