Opinion
Beranda » Berita » Hidupmu Bukan Kebetulan, Rejekimu Bukan Sekadar Nasib

Hidupmu Bukan Kebetulan, Rejekimu Bukan Sekadar Nasib

Tangan memberi sedekah koin emas kepada penerima dengan latar hangat bernuansa emas, melambangkan keikhlasan, keberkahan, dan makna spiritual dalam berbagi rejeki
Tangan yang memberi sedekah melahirkan keberkahan, sementara tangan yang menerima membawa doa dan syukur.
Tangan memberi sedekah koin emas kepada penerima dengan latar hangat bernuansa emas, melambangkan keikhlasan, keberkahan, dan makna spiritual dalam berbagi rejeki

Tangan yang memberi sedekah melahirkan keberkahan, sementara tangan yang menerima membawa doa dan syukur.

SURAU.CO – Pernahkah kita bertanya, mengapa ada orang yang hidupnya terasa begitu lancar, sementara yang lain seperti terus tersandung masalah? Ada yang rejekinya deras, ada pula yang seperti kering kerontang. Banyak orang menyebutnya kebetulan atau nasib. Padahal, dalam pandangan tasawuf falsafi, hidupmu bukan kebetulan dan rejekimu bukan sekadar nasib.

Takdir memang pepesten—sebuah kepastian. Tetapi kepastian itu tidak turun begitu saja. Ia lahir dari getaran perilaku, doa, usaha, dan cara kita memperlakukan sesama.

Takdir: Antara Kepastian dan Ikhtiar

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ayat ini menunjukkan bahwa kepastian (takdir) bukanlah sekadar angka mati yang tidak bisa disentuh. Ada ruang ikhtiar. Ada jalan untuk bergetar, berdoa, berbuat baik, dan mengubah diri.

Tasawuf mengajarkan: apa yang kita lakukan hari ini adalah doa yang sedang kita rajut. Senyum yang kita berikan, sedekah yang kita sisihkan, bahkan kesabaran saat menahan amarah—semua itu adalah benih yang akan tumbuh menjadi pohon rejeki di kemudian hari.

Rejeki Tidak Datang dengan Kebetulan

Seorang kawan pernah bercerita. Ia dulu merasa hidupnya selalu sial: kerja keras tak dihargai, usaha jatuh bangun, keluarga kerap cekcok. Sampai suatu hari, ia memutuskan mengubah cara pandang: berhenti mengeluh, lebih banyak bersyukur, mulai menolong orang lain tanpa pamrih. Perlahan-lahan, rejeki yang dulu terasa seret justru mengalir dari arah yang tak disangka.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memberinya pemahaman dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Kebaikan hidup tidak hanya berupa uang atau harta, tetapi juga pemahaman, ketenangan, dan hati yang lapang. Itulah bagian dari rejeki yang sering kali luput kita syukuri.

Getaran Perilaku: Cermin dari Takdir

Orang Jawa dulu menyebutnya pepesten, sesuatu yang sudah “ditentukan”. Namun pepesten bukan berarti mati dan membelenggu. Ia justru memberi ruang bagi kita untuk menanam getaran perilaku.

Bayangkan sebuah danau. Jika kita lemparkan batu kecil, riak air akan menjalar. Demikian pula perilaku kita: setiap senyum, doa, amarah, sedekah, dan kebiasaan sehari-hari menimbulkan getaran yang pada akhirnya kembali kepada diri kita.

Maka tak heran bila orang yang terbiasa mengeluh akan memanen kegelisahan. Sementara yang terbiasa memberi akan merasakan lapangnya jalan.

Hidup Bukan Kebetulan: Menemukan Makna

Kalau hidup hanyalah kebetulan, tentu tidak ada alasan bagi kita untuk berdoa, beribadah, atau bekerja. Namun, kenyataannya setiap amal membawa buah. Allah sendiri menegaskan dalam Al-Qur’an:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

Ayat ini begitu sederhana, tapi juga menampar. Tidak ada kebetulan. Segalanya adalah akibat. Dan setiap akibat lahir dari sebab yang kita ciptakan.

Menata Hidup, Menjemput Rejeki

Kalau begitu, bagaimana cara kita menata hidup agar rejeki tidak lagi terasa sebagai nasib semata?

  1. Perbanyak syukur. Rejeki yang disyukuri akan beranak pinak.

  2. Perhalus niat. Niat yang jernih akan memantulkan ketulusan dalam tindakan.

  3. Sedekah tanpa pamrih. Apa yang kita keluarkan, sesungguhnya sedang kita titipkan.

  4. Istiqamah berdoa. Doa bukan sekadar ucapan, melainkan getaran jiwa yang menembus langit.

  5. Ikhtiar dengan ikhlas. Usaha tanpa keterikatan pada hasil akan membawa ketenangan.

Penutup: Hikmah yang Menyadarkan

Hidupmu bukan kebetulan, rejekimu bukan sekadar nasib. Semuanya adalah gema dari perilaku, doa, dan niat yang kita tebar. Kalau kita ingin rejeki yang lapang, maka tebarkan kebaikan. Kalau kita ingin hidup yang damai, maka mulailah dari ketenangan hati.

Mari kita renungkan sejenak: sudahkah getaran perilaku kita hari ini selaras dengan takdir yang kita harapkan?

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الشَّاكِرِينَ، وَارْزُقْنَا قَلْبًا سَلِيمًا وَرِزْقًا وَاسِعًا

*Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement