Dzikir Petang: Menutup Hari dengan Cahaya Hati.
Setiap kali senja tiba, langit perlahan merona jingga lalu beranjak gelap. Inilah saat yang penuh makna, ketika seorang hamba kembali mengingat Allah setelah seharian berjuang dengan segala aktivitasnya. Waktu petang bukan hanya sekadar pergantian siang ke malam, tetapi sebuah momen untuk mengembalikan hati agar tetap terikat dengan Sang Pencipta.
Secangkir teh hangat yang dihiasi bunga-bunga di sekitarnya seolah menjadi isyarat bahwa dzikir di waktu petang adalah hidangan jiwa. Jika secangkir minuman menenangkan tubuh, maka dzikir adalah penguat ruhani yang melapangkan hati.
Lafaz yang berbunyi: “Allahumma bika amsaina, wa bika ashbahna, wa bika nahya, wa bika namut, wa ilaikan-nushur” (Ya Allah, dengan-Mu kami memasuki waktu petang, dengan-Mu kami memasuki waktu pagi, dengan-Mu kami hidup, dengan-Mu kami mati, dan hanya kepada-Mu lah kami kembali).
Dzikir ini bukan hanya rangkaian kata, melainkan sebuah deklarasi keimanan. Bahwa hidup kita sepenuhnya bergantung pada Allah; bahwa segala aktivitas yang telah dijalani di siang hari akan bermuara pada pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Mengapa dzikir petang begitu penting?
1. Menjaga hati dari kelalaian. Setelah lelah bekerja, berdagang, atau belajar, dzikir mengembalikan jiwa agar tidak terjebak dalam hiruk pikuk dunia semata.
2. Perlindungan dari segala keburukan malam. Rasulullah ﷺ mengajarkan dzikir petang sebagai benteng yang menjaga dari gangguan makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak terlihat.
3. Mengingat kematian dan kepulangan kepada Allah. Kalimat “wa bika namut, wa ilaikan-nushur” mengajarkan bahwa setiap hari yang berlalu bisa jadi hari terakhir, maka hidup harus dijalani dengan penuh kesadaran.
Bayangkan, jika setiap muslim menjadikan dzikir petang sebagai rutinitas, maka hati-hati yang resah akan tenang, keluarga-keluarga akan lebih damai, dan masyarakat akan lebih teduh. Dzikir menjadi sumber energi spiritual yang tak kalah penting dari makanan jasmani.
Sungguh indah bila kita memulai hari dengan dzikir pagi dan menutupnya dengan dzikir petang. Layaknya secangkir teh hangat di kala senja, dzikir menenangkan, menyejukkan, dan meneguhkan iman.
Maka, mari jadikan dzikir petang sebagai sahabat setia sebelum kita melangkah ke malam. Agar tidur bukan sekadar istirahat, tapi juga ibadah yang terhiasi doa dan harapan akan ridha Allah.
KEJUJURAN, WAJAH TANPA TOPENG
Hidup di tengah masyarakat seringkali membuat kita terbiasa dengan basa-basi, senyum palsu, dan jabat tangan yang penuh kepura-puraan. Tidak sedikit orang yang pandai menyembunyikan wajah aslinya, berlapis topeng untuk mencari keuntungan, kedudukan, atau sekadar diterima lingkungan. Namun, apakah benar itu jalan yang mulia?
Sebagian orang sejak kecil sudah diajarkan untuk jujur, apa adanya. Tidak berpura-pura. Bila suka, katakan suka. Apabila benci, sampaikan dengan cara yang benar. Bila sayang, tunjukkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata manis. Nilai-nilai itu bukan sekadar teori, melainkan buah dari pendidikan orang tua yang menanamkan kejujuran sebagai pondasi hidup.
Karena sejatinya, hidup tanpa ketulusan hanya melahirkan kepalsuan. Orang yang pandai bermuka dua mungkin terlihat berhasil, tapi keberhasilannya rapuh, ibarat bangunan yang berdiri di atas pasir. Sebaliknya, orang yang tulus—meskipun sederhana—akan lebih dihormati, sebab ia berdiri di atas kebenaran.
Dalam Islam, Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Munafik bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga sikap hidup yang penuh kepalsuan. Dan inilah yang seharusnya kita jauhi.
Kejujuran memang terkadang pahit, membuat kita kehilangan simpati sesaat, bahkan mungkin menjauhkan kita dari peluang tertentu. Tetapi jujur akan menyelamatkan, sementara kepalsuan hanya akan menjerumuskan.
Jangan takut untuk tampil apa adanya. Wajah tanpa topeng jauh lebih mulia daripada wajah yang berlapis seribu senyum palsu.
Ingatlah… Kita mengukur kehormatan sejati bukan dari seberapa banyak orang lain menyukai kita. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
