SURAU.CO – Isu lingkungan hidup semakin mendapat perhatian luas sebagai isu global, termasuk kalangan umat beragama. Sedangkan Indonesia, keterkaitan antara Islam dan gerakan peduli lingkungan membentuk fenomena Green Islam. Meski istilah ini baru populer dalam dua dekade terakhir, namun akar dan praktiknya telah tumbuh lebih awal melalui fatwa, gerakan pesantren, hingga respon kemanusiaan terhadap bencana. Pertanyaannya, bagaimana tren global tersebut memengaruhi cara komunitas Muslim Indonesia merespons isu ekologi?
Tren Global Gerakan Lingkungan dan Agama
Diskursus kaitan antara agama dan isu lingkungan mulai mengemuka dalam wacana akademik sejak terbitnya tulisan Lynn White, Jr. Ia seorang sejarawan dari University of California, Los Angeles, The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1967). White berpendapat agama-agama monoteis turut menjadi penyebab utama krisis ekologis. Hal ini terjadi karena ajarannya menekankan dominasi manusia atas alam. Pandangan ini berdasarkan pada narasi penciptaan dalam tradisi monoteistik. Pandangan yang menempatkan manusia sebagai pemuncak tertinggi dalam hierarki alam, sehingga kerap menjadi legitimasi bagi praktik eksploitasi lingkungan.
Setahun kemudian, Seyyed Hossein Nasr–filsuf, cendekiawan Muslim, dan pakar studi Islam–menanggapi dengan menawarkan perspektif tasawuf yang menekankan kesatuan kosmik. Ia juga mengaitkan kerusakan lingkungan dengan krisis spiritual yang melanda dunia modern. Pemikiran Nasr inilah yang kemudian menjadi salah satu fondasi awal munculnya wacana Green Islam pada tingkat global. Beberapa tahun setelahnya, kesadaran dan partisipasi komunitas agama dalam isu-isu lingkungan pun mulai berkembang secara internasional.
Momentum Hari Bumi
Pada tahun 1970, sebelum peringatan Hari Bumi pertama berlangsung, Dewan Gereja Dunia menyerukan agar para pendeta menyampaikan khotbah tentang isu lingkungan. Pada masa itu, fokus utama gerakan keagamaan tersebut adalah pengendalian polusi serta pertumbuhan penduduk. Sementara itu, bagi kalangan Muslim, wacana hubungan agama dan lingkungan yang dipelopori oleh Seyyed Hossein Nasr. Sehingga sejak 1968, idenya semakin berkembang pada dekade 1980-an. Ini terbukti dengan lahirnya karya-karya dari pemikir Islam kontemporer seperti Mawil Izzi Dien dan Fazlun Khalid.
Ternyata literatur mengenai perspektif Islam terhadap lingkungan tidak terikat pada perbedaan teologis atau mazhab fikih tertentu. Literatur yang ada lebih menekankan pendekatan integratif terhadap pemahaman lingkungan. Dengan demikian, umat Islam dari berbagai latar belakang dapat merasa terwakili dalam pandangan tersebut, sekaligus tergerak untuk berkontribusi dalam berbagai aksi lingkungan.
Isu Perubahan Iklim
Sejak awal dekade 2000-an, fokus isu lingkungan dalam gerakan keagamaan mulai bergeser. Isu perubahan iklim mendapat perhatian khusus sebagai tema utama. Pergeseran ini juga menghidupkan kembali diskusi mengenai relasi antara agama dan lingkungan. Pada tahun 2003, Katz–filsuf dan pakar etika lingkungan–menulis karya yang menafsirkan ajaran Yahudi dan Kristen sebagai panggilan untuk merawat serta menjaga alam, bukan malah untuk mengeksploitasinya.Pada tahun yang sama, McDaniel–filsuf dan teolog asal Amerika–menafsirkan Kitab Kejadian sebagai dasar bahwa dominasi manusia atas bumi semestinya dipahami sebagai amanah untuk melindungi, bukan malah sebagai legitimasi eksploitasi.
Momentum ini semakin kuat setelah Paris Agreement 2015, ketika hampir semua komunitas agama ikut terlibat dalam gerakan iklim global. Setahun kemudian, ratusan tokoh lintas agama menandatangani Interfaith Climate Change Statement to World Leaders. Isinya menyerukan para pemimpin dunia untuk segera bertindak mengatasi pemanasan global. Sejalan dengan itu, tahun 2015 Paus Fransiskus melalui ensikliknya–surat resmi Paus kepada para uskup dan umat Katolik seluruh dunia–menegaskan kembali doktrin Katolik. Yakni menekankan bahwa manusia berkewajiban memelihara dan melindungi alam, bukan menundukkan atau mengeksploitasinya secara serakah.
Pandangan Paus Fransiskus ini sejalan dengan argumentasi akademik yang telah berkembang sebelumnya. Bahwa agama justru bisa menjadi sumber energi moral yang kuat bagi gerakan lingkungan. Tony Waitling–peneliti yang menulis tentang agama dan ekologi–menyebutnya sebagai ecotopias. Sebuah representasi imajinatif agama tentang hubungan manusia dan alam dalam bingkai keharmonisan, kearifan, kesakralan, serta perspektif teologis lintas tradisi keagamaan. Selain itu, sejak tahun 2000, Center for the Study of World Religions di Harvard University juga telah menerbitkan serangkaian studi khusus yang membahas Islam dan Ekologi.
Organisasi Berbasis Keagamaan Sebagai Pemain Kunci
PBB mulai memberikan pengakuan terhadap peran organisasi berbasis keagamaan (faith-based organizations) sebagai aktor penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Melalui United Nations Environment Programme (UNEP), yang berfungsi sebagai otoritas global pada bidang lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. PBB menegaskan bahwa seluruh agama memiliki komitmen menjaga kelestarian alam. Sebagai wujud konkret, UNEP meluncurkan inisiatif Faith for Earth.
Menurut laporan UNEP, terdapat lebih dari 190 organisasi lingkungan berbasis agama yang bertekad menangani berbagai persoalan lingkungan, Hal ini mencakup perubahan iklim, efisiensi energi, pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, hingga program reboisasi.
Integrasi Islam dan Isu Ekologis
Dalam wacana hubungan antara agama dan lingkungan, integrasi ajaran Islam dengan isu ekologis tidak lepas dari kritik. Kritik tersebut menekankan adanya potensi pembacaan yang selektif terhadap teks-teks keagamaan. Ayat-ayat Al-Qur’an sering dihubungkan dengan konsep lingkungan hidup yang bersumber dari tradisi Barat, tanpa mempertimbangkan konteks tafsir yang lebih luas atau alternatif yang mungkin lebih sesuai. Jens Koehrsen–akademisi dan peneliti bidang sosiologi agama, ekonomi, dan lingkungan–bahkan menilai pendekatan semacam ini bisa ditolak sebagian besar komunitas Muslim, karena tidak sejalan dengan pemahaman Islam yang dominan. Perdebatan juga masih berlangsung terkait sejauh mana wacana lingkungan Islam memiliki dampak yang signifikan.
Munculnya gerakan hijau dalam Islam tidak sekadar reaksi atas problem kontemporer. Akan tetapi menandai pergeseran mendasar dalam pemahaman dan pengajaran Islam itu sendiri. Meski begitu, isu lingkungan belum menempati posisi penting dalam wacana pemikiran Islam modern. Isu lebih banyak terpusat pada persoalan radikalisme, terorisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Karena itu, aktivis Muslim di bidang lingkungan hingga kini masih tergolong minoritas dalam komunitas Islam global.
Oleh karena itu, meskipun terdapat tantangan dari sisi konsep dan masih terbatasnya perhatian umat Islam terhadap isu lingkungan. Kita perlu yakin dan optimis keterlibatan organisasi keagamaan—termasuk Islam—tetap berpotensi strategis dan signifikan bagi gerakan pelestarian alam. (St.Diyar)
Referensi: Testriono, dkk, Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi, dan Jaringan, 2024.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
