Kisah Nabi Ibrahim AS selalu menginspirasi umat manusia. Ia mendapat gelar istimewa sebagai Khalilullah atau Sahabat Allah. Gelar ini bukan tanpa alasan. Perjalanannya dalam menemukan Tuhan adalah bukti nyata. Ia membuktikan kekuatan sinergi antara akal yang kritis dan hati yang tulus. Ibrahim tidak menerima keyakinan begitu saja. Ia melakukan pencarian mendalam yang patut menjadi teladan.
Perjalanan ini dimulai dari sebuah keresahan intelektual dan spiritual. Semua itu berawal dari lingkungan tempat ia dilahirkan. Nabi Ibrahim tumbuh di tengah masyarakat pagan. Di sana, kaumnya menyembah berhala dan benda-benda langit. Bahkan lebih dari itu, ayahnya sendiri, Azar, adalah seorang pembuat patung berhala. Oleh karena itu, kondisi ini tidak membuat hatinya merasa damai. Secara naluriah, hatinya yang bersih menolak konsep ketuhanan yang rapuh. Seiring dengan penolakan itu, akalnya pun tidak pernah berhenti bertanya.
Logika Akal Melawan Tradisi
Nabi Ibrahim memulai pencariannya dengan observasi. Ia menggunakan akal sehat untuk menguji keyakinan di sekitarnya. Ia melihat fenomena alam sebagai bahan perenungan. Proses ini menunjukkan betapa Islam menghargai penggunaan logika dalam menemukan kebenaran. Ia tidak langsung menolak, tetapi menguji setiap hipotesis dengan cermat.
Malam hari, ia melihat sebuah bintang yang bercahaya. Ia sempat berpikir mungkin itulah Tuhannya. Namun, bintang itu kemudian terbenam dan menghilang. Logikanya berkata, Tuhan tidak mungkin lenyap. Tuhan haruslah abadi dan selalu ada. Maka, ia menolak bintang sebagai Tuhannya.
Kemudian, ia melihat bulan terbit dengan cahaya lebih terang. Ia kembali merenung, mungkinkah ini Tuhannya? Keraguan yang sama muncul saat bulan itu juga terbenam. Pikirannya semakin tajam. Ia menolak menyembah sesuatu yang terbit dan tenggelam. Ia mencari Tuhan yang Maha Mengatur, bukan yang diatur oleh waktu.
Puncaknya adalah ketika matahari terbit. Cahayanya jauh lebih besar dan benderang. “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar,” pikirnya. Namun, keyakinan itu kembali goyah saat sang surya juga tenggelam di ufuk barat. Di titik inilah Nabi Ibrahim sampai pada kesimpulan akhir. Semua benda langit ini adalah makhluk. Mereka semua tunduk pada sebuah sistem. Pasti ada kekuatan yang jauh lebih besar di baliknya.
Proses dialog batin ini diabadikan Al-Qur’an dalam Surah Al-An’am ayat 76-79:
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku’, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’ Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.’ Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'”
Keberanian Hati Menegakkan Kebenaran
Setelah akalnya menemukan jawaban, hatinya pun mantap. Keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid) tertanam kuat. Namun, penemuan ini tidak ia simpan sendiri. Hatinya mendorongnya untuk bertindak. Di sinilah peran “hati” menjadi kunci. Hati memberikan keberanian untuk melawan arus tradisi yang salah.
Ibrahim dengan berani menantang kaumnya. Ia menghancurkan semua berhala kecuali yang paling besar. Ia menyisakan kapak di leher berhala terbesar itu. Ketika kaumnya bertanya, Ibrahim dengan cerdas menjawab. “Tanyakan saja pada berhala terbesar itu. Mungkin dialah pelakunya.”
Argumen ini adalah puncak dari penggunaan akal dan hati. Ia membuktikan secara logis bahwa patung-patung itu lemah. Benda mati itu tidak bisa membela diri, apalagi memberi manfaat. Hatinya memberinya kekuatan untuk menghadapi risiko kemarahan kaumnya. Ia bahkan siap menerima hukuman dibakar hidup-hidup.
Pelajaran Abadi untuk Manusia Modern
Kisah Nabi Ibrahim bukan sekadar cerita masa lalu. Lebih dari itu, ini adalah panduan universal yang relevan sepanjang zaman. Melalui teladannya, ia mengajarkan bahwa iman sejati tidak lahir dari paksaan. Sebaliknya, iman sejati justru tumbuh dari proses berpikir dan perenungan yang mendalam. Dalam konteks inilah, peran akal dan hati menjadi sangat penting. Secara spesifik, akal berfungsi untuk menyaring informasi dan mencari bukti. Sementara di sisi lain, hati berfungsi untuk meyakini kebenaran dan memberi dorongan untuk bertindak.
Di era modern, manusia dikelilingi banyak “berhala” baru. Ada berhala materialisme, kekuasaan, hingga popularitas. Perjalanan Nabi Ibrahim mengajak kita untuk selalu kritis. Gunakan akal untuk mempertanyakan segala sesuatu. Kemudian, dengarkan suara hati nurani untuk menemukan kebenaran hakiki. Dengan begitu, kita bisa menemukan Tuhan dalam kehidupan kita. Sinergi akal dan hati inilah jalan menuju keyakinan yang kokoh dan mencerahkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
