Panggung politik Indonesia hari ini sering kali terasa bising. Berbagai drama dan kontroversi silih berganti menghiasi media. Namun, di balik kebisingan itu, ada dua masalah mendasar yang mengakar. Masalah tersebut adalah minimnya pengetahuan dan menipisnya keteladanan. Keduanya saling terkait erat. Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang menggerus kepercayaan publik.
Fenomena ini memicu apa yang kita sebut krisis keteladanan politik. Banyak figur publik lebih mengutamakan sensasi. Mereka lebih suka membuat pernyataan kontroversial. Substansi dan data akurat sering kali dikesampingkan. Akibatnya, diskursus publik menjadi dangkal. Perdebatan tidak lagi fokus pada solusi kebijakan. Sebaliknya, perdebatan hanya berkutat pada saling serang personal.
Defisit Pengetahuan di Kalangan Elite
Kurangnya pengetahuan bukanlah soal gelar akademik semata. Seorang politisi mungkin punya banyak gelar. Namun, itu tidak menjamin pemahaman mendalam tentang isu publik. Pengetahuan yang dimaksud adalah penguasaan terhadap data. Ini juga tentang pemahaman sejarah bangsa. Serta kepekaan terhadap kondisi riil masyarakat.
Sayangnya, kita sering melihat sebaliknya. Banyak kebijakan lahir tanpa riset yang kuat. Pernyataan pejabat publik kerap tidak didasari fakta. Mereka berbicara hanya untuk menyenangkan kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan defisit kompetensi yang serius. Politisi seharusnya menjadi pemecah masalah. Namun, mereka justru sering menjadi sumber masalah baru karena gagasannya yang dangkal.
Seorang akademisi pernah berkata, “Politik tanpa pengetahuan adalah seperti kapal tanpa kompas. Ia akan berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas, hanya mengikuti angin kepentingan sesaat.”
Situasi ini sangat berbahaya. Kebijakan yang salah sasaran akan merugikan rakyat. Anggaran negara terbuang sia-sia. Masalah fundamental seperti kemiskinan dan ketimpangan tidak pernah tuntas. Masyarakat hanya disuguhi retorika kosong. Janji-janji manis selama kampanye menguap begitu saja setelah pemilu usai.
Langkanya Figur Teladan yang Menginspirasi
Masalah kedua adalah minimnya keteladanan. Politisi adalah pemimpin. Mereka seharusnya menjadi contoh dalam etika dan perilaku. Namun, realitas berkata lain. Kasus korupsi terus menjerat para pejabat. Ujaran kebencian mudah sekali keluar dari mulut mereka. Gaya hidup mewah dipertontonkan tanpa rasa malu.
Integritas menjadi barang langka. Para politisi lebih memikirkan kepentingan pribadi atau partainya. Kepentingan rakyat sering kali menjadi nomor dua. Akibatnya, publik menjadi sinis. Mereka tidak lagi percaya pada janji-janji para politisi. Institusi politik seperti parlemen dan partai politik kehilangan wibawanya.
“Etika bukan lagi barang mewah dalam politik. Itu adalah kebutuhan dasar untuk menjaga kepercayaan publik,” ujar seorang pengamat politik.
Ketika para pemimpin tidak bisa memberi contoh baik, masyarakat akan menirunya. Budaya instan, koruptif, dan saling sikut bisa merembes ke seluruh lapisan sosial. Generasi muda kehilangan panutan. Mereka melihat bahwa cara kotor adalah jalan pintas menuju kekuasaan. Ini adalah kerusakan jangka panjang yang sulit diperbaiki.
Dampak Nyata bagi Demokrasi dan Masyarakat
Kombinasi kurangnya pengetahuan dan minimnya keteladanan menciptakan dampak buruk. Pertama, kualitas demokrasi menurun. Pemilu tidak lagi menjadi ajang adu gagasan. Pemilu berubah menjadi kontes popularitas dan politik uang. Pemilih tidak mendapatkan pendidikan politik yang memadai.
Kedua, partisipasi publik menjadi rendah. Banyak warga, terutama anak muda, merasa apatis. Mereka menganggap politik itu kotor dan tidak ada gunanya. Mereka enggan terlibat dalam proses politik. Padahal, suara mereka sangat penting untuk perubahan.
Ketiga, pembangunan bangsa menjadi terhambat. Tanpa pemimpin yang kompeten dan berintegritas, Indonesia akan sulit bersaing. Masalah-masalah besar bangsa tidak akan pernah selesai. Kita hanya akan berputar-putar dalam lingkaran persoalan yang sama.
Jalan Keluar: Menuntut Standar yang Lebih Tinggi
Mengatasi krisis keteladanan politik ini bukan pekerjaan mudah. Namun, kita harus memulainya. Partai politik memiliki peran sentral. Mereka harus memperketat proses rekrutmen kader. Partai politik seharusnya hanya mencalonkan individu yang kompeten dan berintegritas.
Media massa juga punya tanggung jawab besar. Mereka harus memberi panggung bagi politisi yang berkualitas. Jangan hanya memberitakan sensasi. Berikan ruang untuk diskusi kebijakan yang mendalam.
Terakhir, peran masyarakat adalah yang terpenting. Kita sebagai pemilih harus lebih cerdas. Jangan mudah terbuai oleh citra atau janji kosong. Pelajari rekam jejak calon pemimpin kita. Tuntut mereka untuk menunjukkan kompetensi dan integritasnya. Kita harus berani menghukum politisi buruk dengan tidak memilih mereka. Perbaikan politik bangsa dimulai dari bilik suara.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
