Fiqih Nasional
Beranda » Berita » Qanun Jinayat Aceh dan Hubungannya dengan Hukum Nasional

Qanun Jinayat Aceh dan Hubungannya dengan Hukum Nasional

Qanun Jinayat Aceh dan Hubungannya dengan Hukum Nasional
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Aceh memiliki status istimewa yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia. Status ini lahir melalui sejarah panjang konflik, perjanjian damai, dan rekonsiliasi antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh. Karena itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberikan hak khusus bagi Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat berdasarkan syariat Islam.

Selain itu, Aceh juga menunjukkan pelaksanaan syariat Islam melalui lahirnya Qanun Jinayat. Aturan ini berfungsi sebagai peraturan daerah di bidang hukum pidana Islam. Pemerintah Aceh mengesahkan Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014, dan mulai memberlakukannya pada tahun 2015. Sejak saat itu, Aceh benar-benar memiliki instrumen hukum pidana yang berbeda dari provinsi lain. Dengan demikian, masyarakat Aceh tidak hanya tunduk pada hukum nasional, tetapi juga pada hukum berbasis syariat Islam.

 

Ruang Lingkup Qanun Jinayat

Qanun Jinayat membatasi sejumlah perbuatan yang dipandang sebagai jarimah atau tindak pidana. Aturan ini tidak hanya melarang, tetapi juga menentukan jenis hukuman bagi pelaku. Beberapa jarimah utama mencakup:

  • Khamar (minuman keras): masyarakat dilarang mengonsumsi semua minuman yang memabukkan.
  • Maisir (perjudian): aparat melarang segala bentuk perjudian, baik tradisional maupun daring.
  • Khalwat (berduaan dengan lawan jenis bukan mahram): ulama dan aparat menilai perbuatan ini membuka jalan menuju zina.
  • Zina: hukum melarang hubungan seksual di luar pernikahan sah.
  • Pelecehan seksual dan pemerkosaan: pemerintah mengklasifikasikannya sebagai jarimah berat.
  • Liwath (sodomi) dan musahaqah (lesbianisme): ulama memasukkan keduanya sebagai larangan keras.
  • Qadzaf: masyarakat tidak boleh menuduh orang lain berzina tanpa bukti sah.

Pemerintah Aceh menerapkan tiga jenis hukuman, yaitu cambuk, denda emas, dan penjara. Dengan begitu, aparat tidak hanya mempermalukan pelaku, tetapi juga mendidiknya agar jera.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

 

Dasar Syariat Qanun Jinayat

Qanun Jinayat berakar dari Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, ulama dan pemerintah Aceh menganggapnya sah secara agama sekaligus relevan dalam konteks sosial. Beberapa dasar hukumnya antara lain:

  • Larangan khamar dan maisir: Allah menegaskan,

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamar, maisir, berhala, dan undian panah adalah najis termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90–91).

  • Larangan zina: Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32). Selain itu, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS. An-Nur: 2).

  • Larangan qadzaf:

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera.” (QS. An-Nur: 4).

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

  • Larangan liwath: Allah mengisahkan kaum Nabi Luth yang Dia azab karena homoseksual (QS. Al-A’raf: 80–84).

Dengan dasar ini, ulama menegaskan bahwa Qanun Jinayat tidak sekadar produk politik lokal. Sebaliknya, ia menjadi wujud nyata penerjemahan norma syariat ke dalam hukum positif.

 

Implementasi di Lapangan

Sejak diberlakukan, aparat Aceh benar-benar menjalankan Qanun Jinayat. Mereka tidak hanya menegakkan aturan di pengadilan resmi, tetapi juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Beberapa kasus dapat menggambarkan pelaksanaannya:

  • Lhokseumawe, Juli 2025: Mahkamah Syariah menghukum enam orang dengan cambuk 3–100 kali karena maisir, zina, dan memfasilitasi zina.
  • Banda Aceh, Juni 2024: Petugas menjatuhkan hukuman cambuk 19–42 kali kepada empat orang yang terbukti mabuk karena khamar.
  • Aceh Singkil: Perangkat gampong menyelesaikan beberapa kasus khalwat melalui hukum adat, sebab fasilitas peradilan syariah terbatas.

Melalui contoh ini, masyarakat melihat Qanun Jinayat bukan hanya simbol hukum, tetapi aturan yang dijalankan secara nyata.

 

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Hubungan dengan KUHP Nasional

Indonesia akan menerapkan KUHP baru pada 2026. Namun, posisi Qanun Jinayat tetap kuat karena UUPA menjaminnya. Artinya, hukum pidana Islam di Aceh tidak otomatis hilang meskipun hukum nasional berubah.

Dalam praktiknya, aparat membagi yurisdiksi. Muslim di Aceh tunduk pada Qanun Jinayat, sedangkan non-Muslimumumnya diproses melalui KUHP nasional. Walau demikian, non-Muslim tetap bisa memilih untuk diadili berdasarkan Qanun jika mereka menghendaki. Dengan begitu, Qanun Jinayat dan KUHP dapat berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.

 

Kritik dan Pembelaan

Walaupun masyarakat Aceh menerima Qanun Jinayat, sejumlah pihak tetap mengkritiknya. Aktivis HAM menilai hukuman cambuk melanggar prinsip hak asasi manusia. Lembaga internasional juga menyebut praktik tersebut sebagai penghukuman yang tidak manusiawi.

Namun, pemerintah Aceh memberikan beberapa pembelaan. Pertama, Qanun Jinayat lahir dari otonomi khusus, sehingga ia sah secara konstitusional. Kedua, pemerintah menganggap hukuman cambuk sebagai sarana pendidikan dan efek jera. Ketiga, masyarakat Aceh mendukung penerapan syariat karena mereka menganggapnya bagian dari identitas budaya sekaligus agama.

Dengan alasan ini, pemerintah Aceh terus mempertahankan keberadaan Qanun Jinayat meski kritik tetap muncul.

 

Qanun Jinayat Aceh memperlihatkan integrasi hukum Islam dalam sistem nasional Indonesia. Aturan ini bukan sekadar peraturan lokal, tetapi juga simbol identitas masyarakat Aceh. Walaupun banyak pihak mengkritiknya dari sudut pandang HAM, Qanun ini bertahan karena mayoritas masyarakat mendukungnya.

Tantangan ke depan terletak pada kemampuan pemerintah Aceh untuk menyeimbangkan penerapan syariat, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Jika Aceh berhasil mengelolanya dengan bijak, Qanun Jinayat dapat menjadi contoh nyata bahwa pluralisme hukum di Indonesia justru menjadi kekuatan, bukan kelemahan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement