Khazanah
Beranda » Berita » Manusia Diciptakan Bukan Untuk Sempurna, Tapi Untuk Berguna

Manusia Diciptakan Bukan Untuk Sempurna, Tapi Untuk Berguna

Manusia Diciptakan Bukan Untuk Sempurna, Tapi Untuk Berguna

Manusia Diciptakan Bukan Untuk Sempurna, Tapi Untuk Berguna.

 

Di pagi yang tenang, saat matahari perlahan terbit dari ufuk timur, alam seakan berbisik tentang hakikat kehidupan. Hamparan sawah yang luas, gubuk sederhana, dan langkah petani yang penuh semangat mengajarkan kita arti syukur dan ketekunan.

Hidup ini sejatinya bukan tentang kesempurnaan. Kita tidak pernah dituntut untuk menjadi makhluk tanpa salah dan tanpa cela. Justru, kita diciptakan dengan keterbatasan agar saling melengkapi. Kita hadir bukan untuk membanggakan kesempurnaan, tetapi untuk memberi manfaat. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruquthni)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Selalu Berpegang Teguh Pada Nilai-nilai Kebaikan

Jadikanlah umur kita penuh berkah, kesehatan kita bernilai ibadah, usaha kita mendatangkan manfaat, rezeki kita memberi keberkahan, keluarga kita menjadi penyejuk hati, serta amal kita sebagai bekal terbaik untuk akhirat.

Manusia yang berguna bukan hanya mereka yang mampu membangun istana, melainkan mereka yang dengan kerendahan hati bisa menguatkan orang lain, menolong sesama, menjaga silaturahmi, dan tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan.

Setiap pagi adalah kesempatan baru. Saat kita membuka mata, sejatinya Allah masih memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, meluruskan niat, dan menambah amal kebaikan. Jangan sampai hari kita berlalu tanpa makna, sebab waktu tak akan kembali.

Mari kita mulai hari ini dengan niat baik, ucapan syukur, dan semangat untuk memberi manfaat. Salam sehat selalu, semoga Allah senantiasa melindungi kita di dunia dan mengumpulkan kita dalam kebaikan di akhirat.

 

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

 


KAYA SEJATI ITU KETIKA KITA MAMPU MEMBERI

Banyak orang beranggapan bahwa ukuran kekayaan adalah seberapa banyak harta yang bisa ia beli. Rumah megah, mobil mewah, pakaian bermerek, atau makanan yang serba mahal sering kali dianggap sebagai simbol kesuksesan. Namun, benarkah itu makna kaya yang sejati?

Gambaran di atas menyampaikan pesan mendalam: “Kaya itu bukan ketika kita mampu membeli, tapi ketika kita mampu memberi.”

Makna Kaya Menurut Islam

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Hadis ini menegaskan bahwa kaya sejati bukanlah soal jumlah materi, melainkan kemampuan hati untuk merasa cukup dan ringan tangan dalam berbagi. Orang yang hatinya penuh dengan syukur, walau memiliki sedikit, tetap bisa memberi dan menolong orang lain.

Memberi adalah Tanda Keberkahan

Bila kita hanya bisa membeli untuk diri sendiri, itu tandanya harta kita hanya berhenti di genggaman. Tetapi ketika kita mampu memberi, maka harta itu bergerak, mengalir, dan mendatangkan keberkahan. Bahkan Allah menjanjikan:

“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. Al-Baqarah: 261)

Memberi Tidak Selalu dengan Harta

Memberi bukan hanya soal uang. Senyum tulus, doa yang ikhlas, perhatian yang hangat, ilmu yang bermanfaat, dan waktu yang kita luangkan untuk membantu orang lain juga merupakan bentuk sedekah. Inilah kekayaan sejati: hati yang lapang, jiwa yang dermawan, dan hidup yang bermanfaat.

Mengapa Memberi Membuat Kita Kaya?

1. Karena memberi menumbuhkan rasa cukup dalam diri.
2. memberi memperluas jaringan kebaikan dan cinta.
3. Karena memberi membuat kita semakin dekat dengan Allah.
4. Kmemberi melatih hati untuk tidak diperbudak oleh harta.

Penutup: Kekayaan bukanlah tentang berapa banyak yang bisa kita genggam, tetapi berapa banyak yang bisa kita lepaskan untuk kebaikan. Kaya bukan ketika kita bisa membeli segalanya, melainkan ketika kita mampu memberi dengan ikhlas.

Mari kita evaluasi diri: sudahkah harta, ilmu, dan waktu kita memberi manfaat bagi orang lain? Karena sejatinya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling banyak memberi, bukan yang paling banyak memiliki. (Tengku)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement