Khazanah
Beranda » Berita » Etika Perang Islam dalam Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka

Etika Perang Islam dalam Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka

Etika Perang Islam dalam Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka
Ilustrasi Perang Dahsyat. (Foto: Meta AI)

SURAU.CO – Perang dalam sejarah manusia sering kali identik dengan kebrutalan, kekejaman, dan ambisi kekuasaan. Namun, Islam menghadirkan pandangan yang berbeda. Islam tidak menafikan adanya perang, sebab kenyataan hidup terkadang menuntut umatnya untuk berjuang demi mempertahankan kebenaran. Akan tetapi, Islam juga menegaskan bahwa perang bukanlah tujuan hidup, melainkan jalan terakhir ketika perdamaian tidak mungkin lagi tercapai.

Buya Hamka, seorang ulama besar Nusantara, dalam karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar, membahas dengan sangat indah dan mendalam mengenai etika perang dalam Islam. Tafsir ini bukan hanya penjelasan atas ayat-ayat suci, melainkan juga refleksi moral dan spiritual yang relevan sepanjang masa. Dari sana kita belajar, bahwa meskipun dalam suasana perang, Islam tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang.

Perang Bukan Tujuan, Tetapi Jalan Terakhir

Buya Hamka menegaskan, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang perang selalu datang dalam konteks perlindungan. Islam tidak pernah memikirkan umatnya untuk memulai agresi. Apalagi Al-Qur’an dengan jelas menyatakan:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menafsirkan ayat ini dengan penuh kebijaksanaan. Beliau menekankan bahwa perang hanya dapat dilakukan melawan pihak yang lebih dulu menyerang, merampas hak, atau menindas. Perang bukan sarana balas dendam, bukan pula alat untuk memperluas wilayah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dengan kata lain, perang dalam Islam adalah bersifat defensif, bukan ofensif. Inilah prinsip pertama etika perang menurut Islam: tidak boleh ada agresi tanpa sebab yang sah.

Larangan Melampaui Batas

Salah satu hal yang membuat tafsir Buya Hamka begitu menyentuhnya adalah penekanannya terhadap larangan yang melampaui batas. Dalam kondisi perang yang penuh emosi, amarah, dan dendam, Islam tetap menegakkan moral rambu-rambu.

Hamka menjelaskan, melampaui batas berarti melakukan kezaliman melebihi apa yang diperlukan. Misalnya, membunuh orang yang tidak terlibat, merusak tanaman, menghancurkan rumah, atau membunuh tawanan. Terlebih lagi, wanita, anak-anak, dan orang tua yang lemah harus dilindungi dari kebiadaban perang.

Hamka menegaskan, Rasulullah ﷺ sendiri memberikan arahan kepada pasukannya agar tidak merusak lingkungan, tidak membunuh kecuali yang benar-benar ikut berperang, serta memperlakukan tawanan dengan baik. Pesan-pesan itu menjadi bukti nyata bahwa Islam bukanlah agama yang membenarkan kekerasan membabi buta.

Perang di Jalan Allah, Bukan Jalan Nafsu

Salah satu pilar penting dalam etika perang Islam menurut Hamka adalah niat. Perang dalam Islam harus diniatkan di jalan Allah, bukan karena nafsu duniawi. Jika perang dilakukan karena ambisi pribadi, perebutan harta, atau kesombongan bangsa, maka perang itu kehilangan legitimasi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka mengingatkan umat agar berhati-hati terhadap penyakit hati ketika bekerja. Beliau menulis bahwa jihad yang benar adalah membela hak dan kebenaran, bukan melampiaskan hawa nafsu. Dengan kata lain, motivasi perang adalah menjaga martabat kemanusiaan, bukan menodainya.

Rahmat di Tengah Perang

Menariknya, Buya Hamka juga menekankan sisi kasih sayang Islam bahkan di tengah suasana perang. Dalam tafsirnya, beliau mengutip bagaimana Rasulullah ﷺ memperlakukan tawanan dengan baik. Ada tawanan yang diberi kesempatan memaafkan diri. Hal ini menunjukkan bahwa Islam selalu membuka ruang damai meski dalam keadaan konflik.

Hamka menyebut bahwa inilah wajah Islam yang penuh rahmat. Perang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membuka jalan perdamaian menuju keadilan. Setelah perang usai, Islam memerintahkan rekonsiliasi, pengampunan, dan hidup berdampingan secara damai.

Membela yang Lemah dan Tertindas

Satu lagi sisi penting etika perang dalam Islam adalah keberpihakan pada yang tertindas. Hamka menafsirkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

“Dan mengapa kamu tidak berteriak di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau’.” (QS. An-Nisa [4]: ​​75)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dalam tafsirnya, Hamka menekankan bahwa perang dalam Islam bukan sekedar untuk membela diri, tetapi juga membela orang-orang yang teraniaya dan tidak berdaya. Inilah jihad kemanusiaan yang sangat luhur. Islam tidak membiarkan kezhaliman merajalela, dan karenanya perang bisa menjadi sarana untuk menegakkan keadilan.

Inspirasi dari Buya Hamka

Apa yang membuat tafsir Buya Hamka begitu menggugah adalah mengaitkan pesan Al-Qur’an dengan kehidupan nyata. Beliau tidak hanya menjelaskan hukum-hukum, tetapi juga menghadirkan ruh spiritual dan moral dibalik ayat-ayat perang.

Hamka ingin umat Islam sadar, bahwa keagungan agama ini bukan terletak pada kekuatan pedang, melainkan pada keluhuran akhlak. Perang hanyalah episode kecil dalam perjalanan sejarah, sedangkan kasih sayang dan keadilan adalah nafas utama Islam.

Hamka sendiri adalah tokoh yang menolak kekerasan membabi buta. Meski beliau pernah mengalami pahitnya penjara dan fitnah politik, Hamka tetap memilih jalan pemaafan dan cinta damai. Sikap pribadinya ini mencerminkan konsistensi dengan tafsirnya tentang etika perang.

Penutup: Perang dengan Akhlak, Damai dengan Cinta

Etika perang Islam sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberi kita pelajaran berharga: bahwa bahkan dalam kondisi paling keras sekalipun, Islam tidak pernah melepaskan nilai-nilai kemanusiaan. Perang bukan ruang bebas untuk menumpahkan kebencian, melainkan ujian besar untuk tetap menjunjung tinggi akhlak.

Hari ini, ketika konflik masih berkecamuk di berbagai belahan dunia, umat Islam perlu kembali memikirkan pesan ini. Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama yang menempatkan perang hanya sebagai pilihan terakhir, dengan aturan moral yang ketat, demi tercapainya perdamaian yang hakiki.

Maka, kata sebagaimana Buya Hamka: “Islam bukanlah agama yang memuja perang, melainkan agama yang memuja damai.Tetapi ketika damai diinjak-injak, maka perang menjadi jalan terakhir demi menegakkan kemanusiaan.”

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement