Takut kepada Allah di Setiap Waktu.
Bismillah. Dalam sebuah nasihat yang sangat dalam, Ibnu Rajab rahimahullah menukil perkataan sebagian salaf: “Orang yang takut (kepada Allah) bukanlah orang yang menangis dan bercucuran air mata. Akan tetapi, orang yang takut (kepada Allah) adalah orang yang meninggalkan hawa nafsunya dari hal-hal yang haram padahal sebenarnya dia mampu untuk melakukannya.” (Majmu’ Rasail Ibn Rajab 1/163)
Makna Takut yang Sebenarnya
Takut kepada Allah bukan sekadar perasaan yang ditunjukkan dengan tangisan. Bukan pula sekadar getaran hati yang muncul sesaat ketika mendengar ayat Al-Qur’an atau ceramah agama. Rasa takut kepada Allah sejatinya tercermin dalam tindakan nyata: menahan diri dari maksiat, meninggalkan godaan hawa nafsu, serta menjaga diri dari dosa-dosa yang mengundang murka-Nya.
Menangis karena takut kepada Allah tentu mulia, namun tangisan itu menjadi sempurna bila diiringi dengan perubahan sikap dan kesungguhan dalam ketaatan.
Sebab, banyak orang bisa menangis, tetapi tidak semua orang mampu menahan dirinya dari sesuatu yang diharamkan.
Takut yang Mengendalikan Nafsu
Seorang hamba yang benar-benar takut kepada Allah akan mengingat bahwa setiap amalnya dicatat. Ia tahu bahwa dosa sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban. Maka ketika godaan datang, ia berkata dalam hati: “Allah melihatku. Allah mengetahui apa yang aku lakukan.”
Rasa takut itu bukan membuatnya lemah, tetapi justru menjadikannya kuat. Kuat melawan bisikan syaitan, kuat menundukkan hawa nafsu, dan kuat memilih ketaatan meski berat.
Takut di Setiap Waktu: Mengapa harus di setiap waktu? Karena kehidupan ini penuh jebakan. Di setiap detik, ada pilihan antara taat dan maksiat, antara jujur dan dusta, antara sabar dan marah, antara menahan pandangan dan menuruti syahwat. Maka seorang mukmin yang takut kepada Allah akan senantiasa waspada, menjaga lisannya, hatinya, dan perbuatannya, tidak hanya di masjid atau majelis ilmu, tetapi di rumah, di pasar, di kantor, bahkan saat sendirian.
Buah dari Rasa Takut kepada Allah
1. Dijaga dari perbuatan dosa besar maupun kecil.
Sebab, ia merasa selalu diawasi.
2. Mendapat ketenangan hati.
Karena menjauhi maksiat berarti menjauhi penyesalan.
3. Didekatkan dengan rahmat Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46)
4. Menjadi manusia yang istiqamah.
Takut kepada Allah menjadikannya konsisten dalam menjaga iman.
Penutup: Menahan Diri Karena Allah
Mari kita jadikan rasa takut kepada Allah bukan sekadar tangisan yang sesaat, tetapi menjadi kekuatan yang menuntun kita untuk meninggalkan apa yang Allah larang. Inilah rasa takut yang sejati: saat mampu berbuat maksiat tetapi kita memilih untuk menahan diri karena Allah.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa takut kepada-Nya di setiap waktu, hingga rasa takut itu membawa kita kepada ketakwaan yang hakiki.
“Takut kepada Allah adalah benteng kokoh yang menyelamatkan kita dari kerugian dunia dan akhirat.”
“Akhirnya Saya Berhasil Menemukan Siapa yang Menghabiskan Semua Uangku”.
Gambaran sebenarnya adalah sebuah humor visual yang sarat makna. Seorang perempuan berdiri menghadap dinding dengan bayangan dirinya yang terlihat jelas. Tangannya seolah-olah sedang mencekik bayangan itu. Teks di atas gambar berbunyi: “Akhirnya saya berhasil menemukan siapa yang menghabiskan semua uangku.”
Sekilas, ini hanyalah guyonan. Namun, jika direnungkan lebih dalam, ada pesan besar tentang kehidupan, tanggung jawab pribadi, dan pengelolaan keuangan.
1. Musuh Terbesar Ada di Dalam Diri
Sering kali kita mencari kambing hitam atas masalah keuangan kita. Ada yang menyalahkan harga kebutuhan pokok yang naik, ada yang menyalahkan pasangan, ada pula yang menyalahkan sistem. Padahal, sebagian besar penyebab borosnya uang bukanlah faktor luar, melainkan diri sendiri. Keinginan yang lebih besar daripada kebutuhanlah yang membuat dompet cepat kering.
2. Boros Itu Penyakit, Hemat Itu Obat
Dalam Islam, Allah telah memperingatkan tentang perilaku boros. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 27)
Ayat ini menegaskan bahwa sifat boros bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi bisa menyeret seseorang mendekati jalan setan. Maka, solusi utama adalah menata diri, bukan menyalahkan keadaan.
Belajar Bedakan Kebutuhan dan Keinginan
Banyak orang berpenghasilan cukup, bahkan lebih, tetapi tetap merasa miskin. Mengapa? Karena tidak bisa membedakan mana yang benar-benar butuh dan mana yang sekadar ingin.
Kebutuhan: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan.
Keinginan: barang branded, gadget terbaru, nongkrong mewah, atau liburan berlebihan.
Saat kita tidak mampu mengendalikan keinginan, maka bayangan yang dicekik dalam gambar tadi memang tepat: diri kita sendirilah yang membuat uang habis tak bersisa.
Introspeksi Diri Sebelum Menyalahkan Orang Lain: Gambaran ini juga mengingatkan kita untuk bercermin. Jangan-jangan selama ini kita menyalahkan orang lain—pasangan, anak, atau keadaan—padahal akar masalahnya ada dalam diri kita. Ketika kita tidak mampu menahan diri dari berbelanja, ketika kita tidak disiplin mencatat pemasukan dan pengeluaran, maka siapapun bisa jadi korban tuduhan. Padahal, solusinya ada pada pengendalian diri.
Solusi Islami dalam Mengelola Uang
Islam mengajarkan keseimbangan dalam harta:
Jangan pelit: karena harta adalah amanah, sebagian harus dibagi kepada orang yang membutuhkan.
Jangan boros: karena berlebihan itu akan mengundang penyesalan.
Disiplin zakat dan sedekah: membersihkan harta sekaligus mendatangkan keberkahan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang… hartanya: dari mana ia mendapatkannya dan ke mana ia membelanjakannya.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, setiap rupiah yang kita keluarkan akan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Refleksi: Gambaran lucu ini sebenarnya sedang bercermin pada kita. Siapa sebenarnya yang menghabiskan uang kita? Bukan orang lain, bukan keadaan, tapi diri kita sendiri. Jika kita bisa mengendalikan hawa nafsu, membedakan keinginan dan kebutuhan, serta mengelola keuangan sesuai ajaran Islam, insyaAllah rezeki yang ada akan cukup, bahkan berkah.
Jadi, kalau suatu hari dompet kosong sebelum waktunya, jangan buru-buru menyalahkan orang lain. Lihatlah ke cermin, dan tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku sudah bijak dalam mengelola rezeki?”. (Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
