SURAU.CO. Isu fatherless semakin banyak diperbincangkan, terutama ketika memasuki tahun ajaran baru sekolah, di mana Menteri Pendidikan mendorong para ayah untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Fatherless bukan sekadar kehilangan figur ayah karena kematian atau perceraian, melainkan juga ketiadaan teladan, komunikasi, dan pengaruh seorang ayah dalam kehidupan anak. Banyak anak yang tumbuh tanpa peran emosional ayah meskipun sang ayah hadir secara fisik di rumah. Kehadiran ayah yang hanya sebatas formalitas membuat anak tetap merasa kosong secara batin.
Mengapa Fenomena Fatherless Terjadi?
Fatherless muncul ketika ayah gagal hadir dalam proses tumbuh kembang anak. Sebagian ayah hanya dipandang sebagai pencari nafkah, tetapi tidak ikut berperan dalam kebutuhan psikologis dan emosional anak. Di Indonesia, kondisi ini semakin parah karena pola budaya yang menempatkan pengasuhan sepenuhnya di pundak ibu, sementara ayah lebih sering menjauh dari urusan domestik. Akibatnya, anak kehilangan sentuhan kasih sayang ayah, merasa tidak mendapatkan kehangatan, bahkan tumbuh tanpa figur kepemimpinan yang kuat.
Penyebab fatherless beragam, mulai dari perceraian, kematian ayah, konflik rumah tangga, hingga tuntutan pekerjaan yang membuat ayah jauh dari keluarga. Namun, yang paling merugikan adalah ketika ayah sebenarnya hadir, tetapi sikapnya acuh dan tidak memberikan dukungan emosional. Inilah yang menimbulkan kekosongan mendalam pada diri anak.
Posisi Ayah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, ayah memegang peran fundamental sebagai pemimpin keluarga. Allah menegaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 agar setiap ayah menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Artinya, tanggung jawab ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga memastikan keluarganya hidup dalam nilai iman dan taqwa.
Sebagaimana pendapat yang menyebutkan bahwa jihad terbesar bagi seorang laki-laki bukan sekadar di medan perang, tetapi ketika ia membuka pintu rumah dan mendidik istri serta anak-anaknya. Sayangnya, peran mulia ini sering menyempit menjadi sekadar memberi izin menikah atau menafkahi, tanpa diiringi dengan sentuhan pendidikan, akhlak, dan keteladanan.
Dialog Ayah dan Anak dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menyajikan banyak kisah tentang peran ayah dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim, misalnya, menunjukkan kasih sayang saat memanggil Ismail dengan panggilan lembut “ya bunayya”. Bahkan ketika mendapat perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ibrahim tetap membuka ruang dialog agar Ismail merasakan manisnya ketaatan, bukan sekadar dipaksa untuk taat.
Kisah Luqman dalam surat Luqman ayat 13–19 juga menggambarkan teladan seorang ayah yang menanamkan tauhid, akhlak, kesabaran, hingga etika sosial. Luqman mendidik anaknya dengan nasihat yang penuh kelembutan, mengajarkan shalat, amar ma’ruf nahi munkar, dan akhlak mulia sebagai fondasi kehidupan. Al-Qur’an mengisahkan Luqman sebagai ayah yang baik tidak hanya mengajarkan pengetahuan dunia tetapi juga menanamkan nilai spritual dan moral.
Nabi Ya’qub pun tampil sebagai sosok ayah yang sabar menghadapi perilaku anak-anaknya. Allah menguraikan bagaimana sikap seorang ayah dalam menghadapi anak-anaknya yang nakal dan melanggar ketentuan agama. Meski didustai dalam peristiwa hilangnya Yusuf, beliau tetap berprasangka baik, bersabar, dan menanamkan nilai tawakal. Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus hadir dalam suka maupun duka, tetap memberi bimbingan meski anak melakukan kesalahan.
Begitu pula Nabi Nuh yang dengan penuh kasih berusaha menyelamatkan putranya dari banjir besar. Ia memanggil anaknya dengan lembut, namun sang anak menolak. Kisah ini mengajarkan bahwa peran ayah adalah mengajak anak menuju keselamatan iman, meski hasil akhirnya tetap bergantung pada kehendak Allah.
Amanah untuk Ayah
Kematian dapat menjadi alasan yang memaklumi ketidakhadiran ayah dalam keluarga. Namun, jika ayah tidak bisa hadir dalam keluarga karena pekerjaan atau kesibukan, dia tetap wajib berupaya hadir secara emosional untuk memberikan kasih sayang dan pendidikan kepada anaknya.
Perlu ada perubahan budaya yang menempatkan beban domestik secara seimbang, bukan hanya pada perempuan. Ayah harus kembali menyadari amanahnya sebagai pendidik, pelindung, dan teladan. Dengan begitu, anak tidak hanya merasakan kehadiran fisik seorang ayah, tetapi juga mendapatkan bimbingan spiritual, moral, dan emosional yang akan membentuk generasi kuat sesuai tuntunan Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
