Khazanah
Beranda » Berita » Antara Cinta Ibu dan Ayah (Rahasia yang Baru Kita Pahami Saat Dewasa)

Antara Cinta Ibu dan Ayah (Rahasia yang Baru Kita Pahami Saat Dewasa)

Cinta Ibu dan ayah
Renungan tasawuf falsafi tentang cinta ibu dan ayah: lembut dan tegas, dzahir dan batin, dua jalan menuju kasih sayang Allah.

SURAU.CO – Pernahkah kita merenung, mengapa kasih sayang ibu begitu mudah terasa sejak kecil, sementara cinta ayah justru samar, bahkan nyaris tak terbaca? Pertanyaan ini seperti pintu yang mengetuk jiwa. Saat kita berani membukanya, pemandangan kadang membuat dada sesak  ternyata cinta ayah adalah cinta yang bersembunyi, berjalan pelan, tetapi menopang seumur hidup.

Banyak orang menulis tentang ibu, sangat jarang menulis tentang ayah. Padahal, keduanya ibarat dua sayap burung: jika salah satunya patah, kita takkan pernah bisa terbang. Tulisan ini mencoba mengajak kita menyelami rahasia cinta ibu dan ayah dari sudut pandang tasawuf falsafi sebuah cara pandang yang tidak berhenti pada kulit, melainkan menembus inti makna.

Cinta Ibu: Lembut, Nyata, dan Segera Terasa

Al-Qur’an menggambarkan pengorbanan ibu dengan bahasa yang menyentuh hati:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…” (QS. Luqman: 14)

Sejak lahir, kita mengenal cinta ibu dalam dekapan hangat, dalam sentuhan lembut yang menenangkan tangis. Ia rela lapar demi anaknya kenyang, rela begadang demi tidur lelap si kecil.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Cinta ibu adalah dzahir: nyata, langsung kita rasakan, tidak butuh tafsir panjang. Karena itu, anak-anak tumbuh dengan keyakinan kuat bahwa cinta ibu adalah sumber kenyamanan pertama dalam hidup mereka.

Cinta Ayah: Diam, Tersembunyi, dan Baru Kita Mengerti Saat Dewasa

Berbeda dengan ibu, cinta ayah sering kali tak kita sadari. Ia jarang berkata manis, jarang memeluk, namun setiap tetes keringatnya adalah doa yang disulam diam-diam.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
“Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini sering dipahami sebatas hak kepemilikan. Tetapi dalam rasa tasawuf, ia bermakna: ayah menyerahkan hidupnya demi anak-anak. Ia menukar masa mudanya dengan kerja keras agar keluarganya punya masa depan lebih baik.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ayah adalah cinta yang tersembunyi (batin). Kita baru merasakannya setelah dewasa, atau saat kita sendiri menjadi orang tua. Hanya ketika itu, kita menyadari betapa berat beban yang ia pikul tanpa banyak kata.

Ibu dan Ayah: Dua Jalan Menuju Kasih Tuhan

Dalam tasawuf falsafi, kasih orang tua dipandang sebagai manifestasi kasih sayang Allah. Ibu menghadirkan wajah Rahman-Nya: kelembutan, pengasuhan, kedekatan. Ayah menghadirkan wajah Rahim-Nya: keteguhan, penjagaan, dan rezeki yang terus mengalir.

Keduanya adalah cermin yang saling melengkapi:

  • Ibu mengajarkan kita arti pelukan Ilahi.
  • Ayah mengajarkan kita arti sandaran Ilahi.

Rasulullah ﷺ menegaskan keseimbangan ini dengan sabdanya:

رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Maka, berbakti kepada keduanya bukan hanya etika sosial, melainkan jalan ruhani menuju Allah.

Mengapa Kita Mudah Melihat Ibu, Tapi Sulit Membaca Ayah?

Jawabannya sederhana: cinta ibu hadir di ruang dekat, sementara cinta ayah berjuang di ruang jauh. Ibu ada di rumah, di dapur, di pelukan. Ayah ada di jalan, di ladang, di pasar, di kantor kadang tak terlihat, namun hasil jerihnya kita nikmati setiap hari.

Dunia luar yang keras menjadikan ayah sebagai perisai. Ia pulang membawa lelah yang jarang diucapkan. Tidak heran bila seorang ibu sering berpesan: “Nak, sambutlah ayahmu dengan tawa. Dunia luar sudah cukup kejam baginya.”

Refleksi: Belajar Membaca Dua Wajah Cinta

Jika kita hanya mengenal cinta ibu, kita tumbuh dengan kelembutan, tetapi berisiko rapuh. Jika kita hanya mengenal cinta ayah, kita tumbuh dengan keteguhan, tetapi bisa menjadi kaku. Hanya dengan menyadari keduanya, kita bisa menjadi manusia yang utuh—seimbang antara kasih dan tanggung jawab, antara dzahir dan batin.

Mungkin benar, cinta ibu kita pahami sejak lahir, sementara cinta ayah baru kita mengerti setelah dewasa. Namun keduanya sama-sama tak ternilai. Ibu tidak bisa diukur dengan harga, dan ayah tidak bisa dibayar oleh waktu.

Saatnya Menyapa dengan Rasa Syukur

Selama masih ada kesempatan, sapalah orang tua dengan cinta. Jangan menunggu kehilangan untuk menyadari betapa berharganya mereka. Karena pada hakikatnya, mencintai ibu dan ayah adalah jalan pulang kepada Allah.

Allah berfirman:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku ketika kecil.’” (QS. Al-Isra’: 24)

Mencintai ibu berarti merawat kelembutan hidup. Mencintai ayah berarti menghargai keteguhan hidup. Dan mencintai keduanya berarti belajar membaca wajah Allah di balik setiap kasih sayang manusia.

Penulis : Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement