SURAU.CO-Zakat hadir sebagai kewajiban yang melekat pada setiap Muslim. Sejak pertama kali mengenal Islam, saya menyadari bahwa zakat bukan sekadar kewajiban angka, melainkan ibadah yang menggerakkan hati dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Saat seseorang menunaikan zakat, ia tidak hanya taat kepada Allah, tetapi juga menolong kehidupan orang lain yang sedang membutuhkan.
Saya pernah mendengar kisah seorang petani yang mengeluarkan zakat panen padinya. Hasil zakatnya menolong beberapa keluarga miskin di desanya. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa zakat bukan aturan kaku, melainkan kekuatan sosial yang mampu menumbuhkan rasa syukur dan kebersamaan.
Zakat Fitrah Menyucikan Jiwa
Setiap Muslim merasakan zakat fitrah sebagai penutup Ramadhan. Saat keluarga saya menyiapkan beras untuk zakat fitrah, rasa lega langsung muncul karena ibadah puasa terasa lebih sempurna. Zakat fitrah menyucikan jiwa dari kekurangan dan memberi kesempatan fakir miskin merayakan hari raya dengan bahagia.
Banyak orang belum tahu, ukuran zakat fitrah berasal dari ketetapan Rasulullah ﷺ, yaitu satu sha’, setara sekitar dua setengah kilogram makanan pokok. Di Indonesia, masyarakat biasanya menggunakan beras. Namun, pengetahuan baru yang saya temukan adalah zakat fitrah juga bisa berupa makanan pokok lain sesuai kebiasaan daerah, asalkan nilainya sepadan.
Ketika zakat fitrah tersalurkan sebelum shalat Id, saya melihat wajah penerimanya dipenuhi syukur. Ada kehangatan yang sulit digambarkan, seakan Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk ikut menebarkan kebahagiaan.
Zakat Mal Menjaga Keseimbangan Sosial
Berbeda dengan zakat fitrah, zakat mal menuntut kesadaran dalam mengelola harta. Saya pernah berbincang dengan seorang pengusaha yang selalu menghitung zakat perdagangannya. Ia berkata, zakat membuatnya tenang karena harta yang berputar terasa bersih. Dari situ saya memahami bahwa zakat menjadi salah satu kunci keberkahan dalam usaha.
Zakat mal mencakup banyak bentuk: emas, perak, uang, perdagangan, pertanian, peternakan, tambang, hingga harta karun. Ulama kontemporer menambahkan zakat profesi dari gaji bulanan dan zakat investasi dari keuntungan saham atau properti. Pengetahuan baru yang saya dapat adalah zakat investasi tidak dihitung dari nilai aset, melainkan dari keuntungan bersih yang dihasilkan.
Dalam pengalaman saya, menghitung zakat memang terasa seperti mengurangi harta. Namun setelah menjalaninya, saya melihat berkah yang muncul dalam kehidupan. Zakat mendekatkan orang kaya dengan orang miskin. Keharmonisan masyarakat terwujud bukan hanya dari nasihat, tetapi dari praktik nyata seperti zakat.
Zakat bukan hanya kewajiban dalam fiqih, tetapi juga pengalaman spiritual yang mengubah pandangan seorang Muslim terhadap harta. Zakat fitrah menyucikan diri, sedangkan zakat mal menyeimbangkan kehidupan sosial.
Setiap kali menunaikan zakat, saya merasakan harta menjadi ringan dan jiwa lebih tenteram. Islam mengajarkan bahwa harta hanyalah titipan. Ketika kita berbagi, kita tidak kehilangan, justru memperkuat ikatan dengan Allah dan sesama manusia.
Zakat membentuk kesadaran bahwa harta bukan milik mutlak manusia. Saat saya menunaikannya, hati terasa tenang dan pikiran lebih jernih. Allah menjanjikan keberkahan bagi orang yang ikhlas. Inilah bukti bahwa zakat tidak sekadar kewajiban, melainkan jalan menuju ketenteraman hidup yang tidak ternilai.
Masyarakat yang gemar berzakat akan tumbuh dengan rasa keadilan dan solidaritas. Fakir miskin terbantu, sementara yang mampu merasa lebih bersyukur. Dari pengalaman itu, saya memahami bahwa zakat menjadi pilar penting dalam menciptakan keseimbangan. Dengan zakat, Islam menegakkan persaudaraan sejati di tengah kehidupan manusia. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
