Khazanah
Beranda » Berita » Jebakan Intelektual: Mengapa Gagasan Cendekiawan Muslim Kerap Gagal Melawan Dominasi Barat?

Jebakan Intelektual: Mengapa Gagasan Cendekiawan Muslim Kerap Gagal Melawan Dominasi Barat?

MTQ Internasional Disabilitas Netra 2025
Rapat seleksi pra kualifikasi untuk MTQ Internasional disabilitas netra (Foto dok kemenag)

Dunia Islam telah lama melahirkan banyak pemikir ulung. Para cendekiawan Muslim ini memiliki satu cita-cita besar. Mereka ingin membebaskan umat dari dominasi peradaban Barat. Gagasan besar terus dilontarkan. Berbagai gerakan intelektual juga telah dicoba. Namun, sebuah pertanyaan penting selalu muncul. Mengapa upaya-upaya tersebut sering kali berakhir tanpa hasil signifikan?

Jawaban atas kegagalan ini ternyata sangat mendasar. Masalahnya bukan terletak pada kurangnya semangat atau kecerdasan. Akar persoalannya muncul dari kerangka berpikir yang mereka gunakan.”Banyak cendekiawan Muslim terjebak dalam perangkap epistemologi. Mereka tanpa sadar menggunakan “kacamata” Barat untuk menganalisis masalah dunia Islam.

Hal ini menjadi sorotan utama Dr. Adian Husaini. Dalam karyanya, ia mengupas tuntas masalah ini. Menurutnya, kegagalan itu terjadi karena para pemikir Islam justru memakai alat analisis dari peradaban yang ingin mereka kritik. Mereka menggunakan konsep seperti orientalisme, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Padahal, semua konsep itu lahir dari rahim peradaban Barat.

Akibatnya, solusi yang ditawarkan menjadi tidak efektif. Upaya tersebut ibarat mencoba memperbaiki mesin mobil Eropa dengan menggunakan buku panduan dari mobil Jepang. Keduanya mungkin sama-sama mesin. Namun, struktur fundamentalnya sangat berbeda. Pendekatan ini tidak akan pernah berhasil secara optimal.

Kondisi yang Disebut “Skizofrenia Keilmuan”

Dr. Adian Husaini menyebut fenomena ini sebagai “skizofrenia keilmuan”. Ini adalah sebuah kondisi keterbelahan intelektual. Di satu sisi, seorang cendekiawan memiliki identitas sebagai Muslim. Namun di sisi lain, ia memakai kerangka berpikir sekuler-liberal dalam analisisnya. Keyakinan pribadi berbenturan dengan metodologi keilmuan yang mereka pakai.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kondisi ini menciptakan paradoks yang sangat serius. Cendekiawan tersebut mencoba membela Islam. Namun, ia melakukannya dengan cara yang justru meruntuhkan dasar-dasar pemikiran Islam itu sendiri. Adian Husaini menjelaskan kondisi ini dengan tajam.

“Itulah problem ‘scholarly schizophrenia’ (skizofrenia keilmuan) yang banyak diidap oleh sarjana Muslim. Mereka adalah para pengidap ‘penyakit jiwa keilmuan’, di mana mereka Muslim, tetapi pada saat yang sama, mereka memandang agamanya dari sudut pandang non-Muslim (orientalis). Akibatnya, mereka mempromosikan gagasan-gagasan yang merusak agamanya sendiri.”

Kutipan ini menyoroti betapa berbahayanya jebakan tersebut. Para pemikir akhirnya mempromosikan ide-ide yang justru melemahkan peradaban mereka sendiri. Mereka menjadi agen, secara sadar atau tidak, bagi hegemoni yang ingin mereka lawan.

Jalan Keluar: Kembali ke Worldview Islam

Lalu, bagaimana cara keluar dari kebuntuan ini? Solusinya adalah melakukan dekolonisasi pengetahuan secara total. Para cendekiawan Muslim harus berani melepaskan diri dari kerangka berpikir Barat. Mereka perlu kembali membangun argumen dari fondasi worldview Islam.

Artinya, Al-Qur’an, Sunnah, dan khazanah pemikiran ulama klasik harus menjadi rujukan utama. Ini bukan berarti kita harus anti terhadap ilmu pengetahuan dari Barat. Justru sebaliknya. Pemikir Muslim harus menguasai pemikiran Barat dengan sangat baik. Namun, tujuannya bukan untuk mengadopsi, melainkan untuk mengkritik secara konstruktif.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Penguasaan ini penting untuk membongkar asumsi-asumsi dasar yang ada dalam peradaban Barat. Ibarat sebuah program komputer, pemikiran Barat adalah “virus” yang menyebar. Untuk melawannya, kita butuh “antivirus” yang kuat. Antivirus itu adalah epistemologi Islam yang kokoh dan mandiri.

Proses ini menuntut kerja keras yang luar biasa. Cendekiawan Muslim modern perlu memiliki dua kompetensi sekaligus. Pertama, mereka harus menguasai ilmu-ilmu keislaman klasik secara mendalam. Kedua, mereka juga harus memahami filsafat dan sejarah pemikiran Barat secara komprehensif.

Dengan bekal ganda inilah, mereka dapat membangun kembali sebuah tradisi keilmuan yang orisinal. Dengan bekal ganda inilah, para cendekiawan Muslim mampu membangun kembali sebuah tradisi keilmuan yang orisinal. Tradisi inilah yang akan secara aktif menjawab tantangan zaman tanpa harus mengorbankan jati dirinya. Selama para pemikir tidak mengatasi jebakan epistemologi ini, segala upaya mereka untuk mendobrak dominasi Barat hanya akan menjebak mereka dalam lingkaran setan yang tak berujung. Oleh karena itu, kita harus memulai perubahan fundamental ini dari akarnya. Kita semua harus secara sadar mengubah cara kita berpikir.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement